Friday, 10 January 2014

MUHKAM DAN MUTASYABIH




MUHKAM DAN MUTASYABIH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Al-Qur’an
Dosen Pengampu
Anwar Mujahidin



Disusun Oleh
Anna Faridatul afida
210911066

Program Studi Tadris Bahasa Inggris
Jurusan Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
TAHUN 2012



PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Muhkam dan mutasyabih dilatar belakangi oleh adanya perbedaan pendapat ulama tentang adanya hubungan suatu ayat atau surat yang lain.Sementara yang lain mengatakan bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tida berhubungan, disbebabkan pendapat ini, maka suatu ilmu yang dipelajari ayat atau surat Al-Qur’an cukup penting kedudukannya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
2.    Ada berapa macam ayat mutasyabihat ?
3.    Apa hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
4.    Bagaimana sikap ulama terhadap ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih ?

C.    Tujuan
1.    Untuk menambah ilmu pengetahuan kita, dalam memahami Muhkam dan Mutasyabih.
2.    Untuk bahasan dalam mata kuliah Ulumul Qur’an.
3.    Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ulumul Qur’an.

PEMBAHASAN
A.      Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
             Muhkam berasal dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.[1]
Contoh surat Al-Baqarah ayat 83 :
Artinya :
“Dan ketika kami mengambil janji dari anak-anak Israel, tidak akan menyembah selain Allah dan berbuat kebaikan kepada Ibu, Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak piatu dan orang-orang miskin dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia dan kerjakanlah shalat dan bayarlah zakat, kemudian itu kamu berpaling kecuali sebagian kecil dari padamu dan kamu tidak mengambil peduli”.
              Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminologi Al-Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya atau maknanya yang tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu atau Allah yang mengetahuinya.
Contoh surat Thoha ayat 5 :
Artinya :
“(Allah) yang maha pemurah yang bersemayam diatas ‘Arasy”.[2]

Muhkam dan mutasyabih dalam Ulumul Qur’an termaktub dalam QS. Ali’imran ayat 7.

uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  
Dia-lah yang telah menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
       Menurut ayat ini, ayat-ayat Al-Qur’an ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih. Atas dasar inilah para ulama memberikan definisi kedua jenis ayat itu. Ahlu Sunnah mendefinisikan muhkam adalah ayat yang dapat dilihat pesannya melalui takwil, sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya tentang saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji(Alfabet) dalam permulaan surat, seperti alif lam mim dan sebagainya. Menurut Ibnu ‘Abbas muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak pengertian.[3]
       Disamping itu, Imam al-Haramain berpendapat bahwa ayat muhkam adalah ayat yang tepat susunan dan sistematikanya sehingga mudah dipahami maksudnya. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika isyarat yang menjelskannya. Misalnya ayat musytarak, mutlak, khafi dan sebagainya.
        Pendapat lain mengatakan bahwa muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, dapat ditangkap oleh akal manusia, sedangkan ayat mutasyabihat mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat dalam shalat lima waktu, kewajiban puasa pada bulan ramadhan, bukan pada bulan lainnya dan sebagainya. Ada juga pendapat yang mengatakan ayat muhkam adalah ayat yang nasikh (menghapus) dan mengandung pesan halal, haram, hudud (hukuman) faraid (warisan) dan yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun ayat yang mutasyabih yaitu ayat yang termasuk mansukh dan qasam (sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan karena tidak bisa ditangkap maksudnya. Ada juga pendapat yang mengatakan ayat muhkam adalah ayat yang mengandung halal dan haram, sedangkan diluar itu termasuk ayat mutasyabih.
B.       Macam-macam Ayat Mutasyabihat
  Ayat mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga bagian,[4] yaitu kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada keduanya.
1.    Kesamaran pada lafal
  Kesamaran pada lafal ini ada dua macam, dirujukkan kepada lafal tunggal (mufrod) dan lafal majemuk (murakkab). Kesamaran pada lafal mufrad adalah lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas, baik karena lafalnya gharib (asing) maupun karena bermakna ganda. Contoh kesamaran pada lafal yang gharib diantaranya lafal اَبًا dalam QS. ‘Abasa ayat 31 (dan buah-buahan serta rerumputan). Kata  اَبًاjarang disebutkan dalam Al-Qur’an sehingga asing dan sulit untuk dipahami. Tetapi ayat 32 dalam surat yang sama disebutkan  مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَا مِكُمْ   (untuk kesenangan kamu dan binatang ternakmu). Dengan penjelasan itulah maka yang dimaksud اَبًا adalah rerumputan seperti bayam, kangkung, yang disenangi manusia dan ternak. Contoh kesamaran pada lafal yang bermakna ganda, diantaranya lafal اليَمِيْنُ dalam QS. Shad ayat 93 (lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya, dengan kuatnya, sesuai dengan sumpah).
Menghadapi اليَمِيْنُ yang musytarak (bermakna ganda) ini, kemungkinan mentakwilkannya bisa ketiga-tiganya. Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim berarti menghancurkan berhala-berhala dengan tangan kanannya atau ia memukul berhala-berhala itu dengan kuat karena berhala-berhala itu terbuat dari batu atau dengan arti sumpah. Sebab, Nabi Ibrahim sebelumnya sudah pernah bersumpah akan menghancurkan berhala-berhala yang didewakan Raja Namrud itu (QS. Al-Anbiya’: 57).
      Adapun kesamaran pada lafal murakkab, bisa dikarenakan karena ringkasnya, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh kesamaran karena terlalu ringkas, diantaranya ketika menterjemahkan QS. An-Nisa’ ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ....
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
           Terkesan ayat ini mengandung pengertian bahwa karena takut tidak dapat berlaku adil   anak yatim, lalu mengapa disuruh kawin dengan wanita lain yang baik-baik; dua, tiga atau empat. Seandainya ayat tersebut diberikan tambahan (penjelasan), misalnya:”Jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bila kamu mengawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka yang kalian senangi; dua, tiga atau empat.” Maksudnya bahwa orang yang takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak isterinya yang yatim yang harus dijaga status dan hartanya sebagai anak yatim, maka kawin saja dengan wanita yang tidak yatim yang sedikit lebih bebas penjagaan terhadap hak-haknya. Dengan adanya tambahan kata itu, maka kesan sulit memahami ayat tersebut sirna.
2.    Kesamaran pada Makna Ayat
 Kesamaran pada ayat diantaranya tentang pengertian sifat-sifat Allah, tentang masalah hari kiamat, kenikmatan kubur dan siksanya, nikmat surga dan siksa neraka. Makna-makna seperti itu tidak akan dapat dipahami manusia karena tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.
3.    Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Kesamaran pada lafal dan makna dapat dilihat dalam lima aspek, yaitu :
a.    Aspek kuantitas (kamiyyah), seperti masalah umum dan khusus. Contohnya, ayat 5 surat At-Taubah: فَاقْتُلُوْااْلمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْ تُّمُوْهُ (Bunuhlah kaum Musyrikin itu dimanapun kalian temukan mereka berada).
b.    Aspek cara (kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama. Contohnya, ayat 14 surat Thaha: وَاَقِيْمُوْاالصَّلَاةَ لِذِ كْرِي (Dan dirikanlah shalat unyuk mengingat Aku).
c.    Aspek waktu (zaman), seperti batas sampai kapan melaksanakan perbuatan. Contohnya, ayat 112 surat Ali Imran.
d.   Aspek tempat (makan), seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah dalam ayat 189 surat Al-Baqarah.
e.    Aspek syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban, misalnya bagaimana syarat sahnya shalat, puasa, haji, nikah dan sebagainya.[5]
C.   Hikmah Adanya Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
            Terlepas dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan mutasyabih dalam Al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya, dapat ditemukan beberapa hikmah sebagai berikut.
1.    Jika seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sinarlah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya. Orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.    Al-Qur’an yang berisi muhkam dan mutasyabih memberi motivasi kepada umat islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindari dari taklid.
3.    Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayatinya untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal disamping dalil naql.
4.    Adanya muhkam dan mutasyabih sebagai bukti kei’jazan Al-Qur’an yang memiliki  
     mutu tinggi nilai sastranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad, tetapi produk allah, agar  mereka melaksanakan isinya.[6]
5.    Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat Mutasyabihat maka untuk memahami diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya, hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa, Gramatika, Ma’ani, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih dan sebagainya.
6.    Ayat ini juga merupakan cobaan bagi manusia apakah mereka percaya atau tidak tentang hal yang ghaib.[7]
D.      Sikap Para Ulama terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
            Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut.
            Apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-‘Ilm di-athaf-kan pada lafadz Allah, sementara lafadz yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-‘Ilm sebagai mubtada’, sedangkan lafadz yaquluna sebagai khabar? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
            Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, sebagian besar sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula merupakan riwayat paling shahih dari Ibn ‘Abbas.
       Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1.    Madzab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (Tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Diantara ulama yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa’ ia menjawab,
اَلإِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْ هَذَا بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلٌ سُوْءٍ أَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ
Artinya :
“Istiwa’ itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan mempelajarinya bid’ah. Aku mengira engkau adalah orang tidak baik. Keluarkan dia dari tempatku”.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat Islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teolog dari kalangan kami yang menolak madzab ini.
2.    Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin. Imam Al-Haramain (W.476 H) pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih.
     Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Qur’an dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ditakwilkan dengan “keluhuran” yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. “Kedatangan Allah” ditkwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada diatas hamba-hambaNya” menunjukkan kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa dia menempati suatu tempat. “Sisi Allah” ditakwilkan dengan hak Allah. “Wajah dan mata Allah” ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. “Tangan” ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya dan “diri” ditakwilkan dengan siksa-Nya. Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf.
     Untuk menengahi kedua madzhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak kenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanyasesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. Namun, bila arti ayat-ayat itu dapat dipahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah Q.S Az-Zumar ayat 56 yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.
     Ibnu Qutaibah (w.276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahiriyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.




                                                                                                                                                            
KESIMPULAN
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminologi Al-Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya atau maknanya yang tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu atau Allah yang mengetahuinya. Muhkam berasal dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Ayat mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada keduanya.
Terlepas dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan mutasyabih dalam Al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya, dapat ditemukan beberapa hikmah sebagai berikut.
1.      Jika seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sinarlah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya. Orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.      Al-Qur’an yang berisi muhkam dan mutasyabih memberi motivasi kepada umat islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindari dari taklid.
3.      Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayatinya untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal disamping dalil naql.
4.      Adanya muhkam dan mutasyabih sebagai bukti kei’jazan Al-Qur’an yang memiliki  
mutu tinggi nilai sastranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad, tetapi produk allah, agar  mereka melaksanakan isinya.
5.      Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat Mutasyabihat maka untuk memahami diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya, hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa, Gramatika, Ma’ani, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih dan sebagainya.
6.      Ayat ini juga merupakan cobaan bagi manusia apakah mereka percaya atau tidak tentang hal yang ghaib.

DAFTAR PUSTAKA

al-Suyuthiy, Jalal al-Din, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, Jilid I dan II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Anwar, Rosihon, Ulum Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Supiana dan Karman, Ulumul Quran, (Cidurian Bandung: Pustaka Islamika).










[1] http://andinianingsih.blogspot.com/2011/05/makalah-muhkam-dan-mutasyabih.html
[2] http://ulumul.wordpress.com/
[3] Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.2-3.
[4] Al-Raghib al-Isfahaniy,hlm.261
[5] Drs. Supiana, M.Ag dan M. Karman, M.Ag, ULUMUL QURAN (PUSTAKA ISLAMIKA Cidurian Bandung, 2002)hlm. 192-194
[6] Ibid.
[7] http://ulumul.wordpress.com/Ibid.

1 comment:

  1. Salam,

    Sedikit pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/

    wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".

    ReplyDelete