MUHKAM DAN MUTASYABIH
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Al-Qur’an
Dosen
Pengampu
Anwar
Mujahidin
Disusun
Oleh
Anna
Faridatul afida
210911066
Program
Studi Tadris Bahasa Inggris
Jurusan
Tarbiyah
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
TAHUN
2012
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Muhkam
dan mutasyabih dilatar belakangi oleh adanya perbedaan pendapat ulama tentang
adanya hubungan suatu ayat atau surat yang lain.Sementara yang lain mengatakan
bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tida berhubungan, disbebabkan
pendapat ini, maka suatu ilmu yang dipelajari ayat atau surat Al-Qur’an cukup
penting kedudukannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
2. Ada berapa macam ayat mutasyabihat ?
3. Apa hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan
Mutasyabih ?
4. Bagaimana sikap ulama terhadap ayat-ayat
Muhkam dan Mutasyabih ?
C.
Tujuan
1. Untuk menambah ilmu pengetahuan kita,
dalam memahami Muhkam dan Mutasyabih.
2. Untuk bahasan dalam mata kuliah Ulumul
Qur’an.
3. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Ulumul Qur’an.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam berasal
dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan
pencegahan. Sedangkan secara terminologi muhkam berarti ayat-ayat yang jelas
maknanya dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.[1]
Contoh surat Al-Baqarah ayat 83 :
Artinya :
“Dan ketika kami
mengambil janji dari anak-anak Israel, tidak akan menyembah selain Allah dan
berbuat kebaikan kepada Ibu, Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak piatu dan
orang-orang miskin dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia dan kerjakanlah
shalat dan bayarlah zakat, kemudian itu kamu berpaling kecuali sebagian kecil
dari padamu dan kamu tidak mengambil peduli”.
Mutasyabih berasal dari kata
tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal
yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminologi
Al-Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan mempunyai banyak
kemungkinan takwilnya atau maknanya yang tersembunyi dan memerlukan keterangan
tertentu atau Allah yang mengetahuinya.
Contoh
surat Thoha ayat 5 :
Artinya
:
“(Allah)
yang maha pemurah yang bersemayam diatas ‘Arasy”.[2]
Muhkam
dan mutasyabih dalam Ulumul Qur’an termaktub dalam QS. Ali’imran ayat 7.
uqèd
üÏ%©!$#
tAtRr&
y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$#
çm÷ZÏB
×M»t#uä
ìM»yJs3øtC
£`èd
Pé&
É=»tGÅ3ø9$#
ãyzé&ur
×M»ygÎ7»t±tFãB
(
$¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Dia-lah yang telah menurunkan
Al kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.
Menurut ayat ini, ayat-ayat Al-Qur’an
ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih. Atas dasar inilah para ulama
memberikan definisi kedua jenis ayat itu. Ahlu Sunnah mendefinisikan muhkam
adalah ayat yang dapat dilihat pesannya melalui takwil, sedangkan ayat
mutasyabihat adalah ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah.
Misalnya tentang saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji(Alfabet)
dalam permulaan surat, seperti alif lam mim dan sebagainya. Menurut Ibnu ‘Abbas
muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan
mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak pengertian.[3]
Disamping itu, Imam al-Haramain
berpendapat bahwa ayat muhkam adalah ayat yang tepat susunan dan sistematikanya
sehingga mudah dipahami maksudnya. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika isyarat yang
menjelskannya. Misalnya ayat musytarak, mutlak, khafi dan sebagainya.
Pendapat lain mengatakan bahwa muhkam
adalah ayat yang maknanya rasional, dapat ditangkap oleh akal manusia,
sedangkan ayat mutasyabihat mengandung pengertian yang tidak dapat
dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat dalam shalat lima waktu, kewajiban
puasa pada bulan ramadhan, bukan pada bulan lainnya dan sebagainya. Ada juga
pendapat yang mengatakan ayat muhkam adalah ayat yang nasikh (menghapus) dan
mengandung pesan halal, haram, hudud (hukuman) faraid (warisan) dan yang wajib
diimani dan diamalkan. Adapun ayat yang mutasyabih yaitu ayat yang termasuk
mansukh dan qasam (sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tidak wajib untuk
diamalkan karena tidak bisa ditangkap maksudnya. Ada juga pendapat yang
mengatakan ayat muhkam adalah ayat yang mengandung halal dan haram, sedangkan
diluar itu termasuk ayat mutasyabih.
B. Macam-macam Ayat Mutasyabihat
Ayat mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga
bagian,[4]
yaitu kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada keduanya.
1. Kesamaran pada lafal
Kesamaran pada lafal ini ada dua macam,
dirujukkan kepada lafal tunggal (mufrod) dan lafal majemuk (murakkab).
Kesamaran pada lafal mufrad adalah lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas,
baik karena lafalnya gharib (asing) maupun karena bermakna ganda. Contoh
kesamaran pada lafal yang gharib diantaranya lafal
اَبًا dalam QS. ‘Abasa ayat 31 (dan
buah-buahan serta rerumputan). Kata اَبًاjarang
disebutkan dalam Al-Qur’an sehingga asing dan sulit untuk dipahami. Tetapi ayat
32 dalam surat yang
sama disebutkan مَتَاعًا
لَّكُمْ وَلِأَنْعَا مِكُمْ (untuk kesenangan kamu
dan binatang ternakmu). Dengan penjelasan itulah maka yang dimaksud
اَبًا adalah rerumputan seperti bayam, kangkung, yang disenangi
manusia dan ternak. Contoh kesamaran pada lafal yang bermakna ganda,
diantaranya lafal اليَمِيْنُ dalam
QS. Shad ayat 93 (lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan
tangan kanannya, dengan kuatnya, sesuai dengan sumpah).
Menghadapi
اليَمِيْنُ yang musytarak (bermakna ganda) ini, kemungkinan
mentakwilkannya bisa ketiga-tiganya. Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim berarti
menghancurkan berhala-berhala dengan tangan kanannya atau ia memukul
berhala-berhala itu dengan kuat karena berhala-berhala itu terbuat dari batu
atau dengan arti sumpah. Sebab, Nabi Ibrahim sebelumnya sudah pernah bersumpah
akan menghancurkan berhala-berhala yang didewakan Raja Namrud itu (QS.
Al-Anbiya’: 57).
Adapun kesamaran pada lafal murakkab,
bisa dikarenakan karena ringkasnya, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya
kurang tertib. Contoh kesamaran karena terlalu ringkas, diantaranya ketika
menterjemahkan QS. An-Nisa’ ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ....
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat”.
Terkesan ayat ini
mengandung pengertian bahwa karena takut tidak dapat berlaku adil anak
yatim, lalu mengapa disuruh kawin dengan wanita lain yang baik-baik; dua, tiga
atau empat. Seandainya ayat tersebut diberikan tambahan (penjelasan),
misalnya:”Jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim bila kamu mengawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita
selain mereka yang kalian senangi; dua, tiga atau empat.” Maksudnya bahwa orang
yang takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak isterinya yang yatim yang
harus dijaga status dan hartanya sebagai anak yatim, maka kawin saja dengan
wanita yang tidak yatim yang sedikit lebih bebas penjagaan terhadap hak-haknya.
Dengan adanya tambahan kata itu, maka kesan sulit memahami ayat tersebut sirna.
2. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada ayat diantaranya tentang
pengertian sifat-sifat Allah, tentang masalah hari kiamat, kenikmatan kubur dan
siksanya, nikmat surga dan siksa neraka. Makna-makna seperti itu tidak akan
dapat dipahami manusia karena tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.
3. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Kesamaran
pada lafal dan makna dapat dilihat dalam lima aspek, yaitu :
a. Aspek kuantitas (kamiyyah), seperti
masalah umum dan khusus. Contohnya, ayat 5 surat At-Taubah:
فَاقْتُلُوْااْلمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْ
تُّمُوْهُ (Bunuhlah
kaum Musyrikin itu dimanapun kalian temukan mereka berada).
b. Aspek cara (kaifiyyah), seperti
bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama. Contohnya, ayat 14 surat Thaha: وَاَقِيْمُوْاالصَّلَاةَ
لِذِ كْرِي (Dan
dirikanlah shalat unyuk mengingat Aku).
c. Aspek waktu (zaman), seperti
batas sampai kapan melaksanakan perbuatan. Contohnya, ayat 112 surat Ali Imran.
d. Aspek tempat (makan), seperti
tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah dalam ayat 189 surat Al-Baqarah.
e. Aspek syarat-syarat melaksanakan sesuatu
kewajiban, misalnya bagaimana syarat sahnya shalat, puasa, haji, nikah dan
sebagainya.[5]
C.
Hikmah Adanya Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Terlepas dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan
mutasyabih dalam Al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya, dapat ditemukan
beberapa hikmah sebagai berikut.
1.
Jika
seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sinarlah ujian
keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan
sebaliknya. Orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar
terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.
Al-Qur’an
yang berisi muhkam dan mutasyabih memberi motivasi kepada umat islam untuk
terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindari dari
taklid.
3.
Adanya
ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan
menghayatinya untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat
memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal disamping dalil
naql.
4.
Adanya
muhkam dan mutasyabih sebagai bukti kei’jazan Al-Qur’an yang memiliki
mutu tinggi nilai sastranya, agar manusia
meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad, tetapi produk allah, agar mereka melaksanakan isinya.[6]
5. Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat
Mutasyabihat maka untuk memahami diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara
satu dengan yang lainnya, hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa,
Gramatika, Ma’ani, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih dan sebagainya.
6. Ayat ini juga merupakan cobaan bagi
manusia apakah mereka percaya atau tidak tentang hal yang ghaib.[7]
D. Sikap Para Ulama terhadap Ayat-ayat
Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih
dapat diketahui pula oleh manusia atau hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat
ayat berikut.
Apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-‘Ilm di-athaf-kan pada
lafadz Allah, sementara lafadz yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa
ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya.
Atau apakah ungkapan wa Al-rasikhuna fi Al-‘Ilm sebagai mubtada’,
sedangkan lafadz yaquluna sebagai khabar? Ini artinya bahwa
ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang
yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama,
sebagian besar sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya, terutama kalangan
Ahlussunnah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula merupakan
riwayat paling shahih dari Ibn ‘Abbas.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua
kelompok, yaitu :
1.
Madzab
salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih
dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (Tafwidh ilallah).
Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Diantara ulama
yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa’
ia menjawab,
اَلإِسْتِوَاءُ
مَعْلُوْمٌ وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْ هَذَا
بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلٌ سُوْءٍ أَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ
Artinya
:
“Istiwa’
itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan mempelajarinya bid’ah. Aku
mengira engkau adalah orang tidak baik. Keluarkan dia dari tempatku”.
Ibn
Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzab salaf ini dianut oleh generasi dan para
pemuka umat Islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para
pemuka fiqih. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak
para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teolog dari kalangan kami
yang menolak madzab ini.
2.
Madzhab
Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin. Imam
Al-Haramain (W.476 H) pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian
menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa
prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab
mereka memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan
Allah dari pengertian ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib
sebagaimana dituturkan Al-Qur’an dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat
itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih.
Istiwa’ditakwilkan dengan “keluhuran” yang abstrak, berupa pengendalian
Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. “Kedatangan Allah” ditkwilkan
dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada diatas hamba-hambaNya” menunjukkan
kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa dia menempati suatu tempat. “Sisi
Allah” ditakwilkan dengan hak Allah. “Wajah dan mata Allah” ditakwilkan dengan
pengawasan-Nya. “Tangan” ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya dan “diri”
ditakwilkan dengan siksa-Nya. Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf.
Untuk menengahi kedua madzhab yang
kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang
dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab,
penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak kenal oleh lisan Arab, kita
harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan)
dan mengimani maknanyasesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka
menyucikan Allah. Namun, bila arti ayat-ayat itu dapat dipahami melalui
percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah
Q.S Az-Zumar ayat 56 yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.
Ibnu Qutaibah (w.276 H) menentukan dua
syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai
dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua,
arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini
lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahiriyyah yang menyatakan bahwa
arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab
pada masa awal.
KESIMPULAN
Mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan
yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha
berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara
terminologi Al-Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan
mempunyai banyak kemungkinan takwilnya atau maknanya yang tersembunyi dan
memerlukan keterangan tertentu atau Allah yang mengetahuinya. Muhkam berasal
dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan
pencegahan. Sedangkan secara terminologi muhkam berarti ayat-ayat yang jelas
maknanya dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Ayat
mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kesamaran pada lafal, pada
makna, dan pada keduanya.
Terlepas
dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan mutasyabih dalam
Al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya, dapat ditemukan beberapa hikmah
sebagai berikut.
1. Jika seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari
ayat-ayat muhkamat, maka sinarlah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran
pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya. Orang yang tidak tahan uji
terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2. Al-Qur’an yang berisi muhkam dan
mutasyabih memberi motivasi kepada umat islam untuk terus menerus menggali
berbagai kandungannya sehingga mereka terhindari dari taklid.
3. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia
mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayatinya untuk diamalkan dalam
kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa
menggunakan dalil akal disamping dalil naql.
4. Adanya muhkam dan mutasyabih sebagai
bukti kei’jazan Al-Qur’an yang memiliki
mutu tinggi nilai
sastranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad, tetapi produk
allah, agar mereka melaksanakan isinya.
5. Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat
Mutasyabihat maka untuk memahami diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara
satu dengan yang lainnya, hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa,
Gramatika, Ma’ani, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih dan sebagainya.
6. Ayat ini juga merupakan cobaan bagi
manusia apakah mereka percaya atau tidak tentang hal yang ghaib.
DAFTAR PUSTAKA
al-Suyuthiy, Jalal al-Din, al-Itqan fi
‘Ulum Alquran, Jilid I dan II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Anwar, Rosihon, Ulum Quran, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999)
Supiana dan Karman, Ulumul Quran,
(Cidurian Bandung: Pustaka Islamika).
[1]
http://andinianingsih.blogspot.com/2011/05/makalah-muhkam-dan-mutasyabih.html
[2] http://ulumul.wordpress.com/
[3] Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, Juz I (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), hlm.2-3.
[4] Al-Raghib al-Isfahaniy,hlm.261
[5] Drs. Supiana, M.Ag dan M. Karman, M.Ag, ULUMUL QURAN (PUSTAKA ISLAMIKA
Cidurian Bandung, 2002)hlm. 192-194
[6] Ibid.
[7] http://ulumul.wordpress.com/Ibid.

Salam,
ReplyDeleteSedikit pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/
wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".