Sunday, 12 January 2014

HUKUM PERIKATAN




BAB I
PENDAHULUAN

Istilah Perikatan
Ada beberapa istilah:
1.      KUHPdt menggunakan istilah “Verbintenis” untuk Perikatan, sedang Persetujuan memakai istilah “Overeenkomst”
2.      Utrecht menggunakan istilah “Verbintenis” untuk Perutangan dan “Overeenkomst” untuk “Pejanjian”
3.      Achmad Ichsan menterjemahkan “Verbintenis” untuk Perjanjian dan “Overeenkomst” untuk Persetujuan
Jadi dapat disimpulkan bahwa di Indonesia ternyata untuk:
1.      “Verbintenis” dikenal 3 istilah yaitu Perikatan, Perutangan dan Perjanjian
2.      “Overeenkost” ada 2 istilah yatu Perjanjian dan Persetujuan
R. Setiawan SH.
Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Jadi Verbinten menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”
Overeenkomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengn azas konsensualisme yang dianut oleh BW.
Pengertian Perikatan
Perikatan diatur dalam buku III BW. Meskipun demikian, tidak satu pasalpun dalam BW yang menguraikan pengertian perikatan.
Menurut sejarahnya verbintenis berasal dari bahasa Perancis “Obligation”/Obligatio (dalam Code Civil Perancis dan dalam hukum Romawi Corpus.
Dalam perkembangannya, pengertian perikatan telah mengalami perubahan.
Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.


Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Kesimpulan:
dalam satu perikatan, paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban.
Contoh:
1.      A menitipkan sepedanya kepada B secara Cuma-Cuma
2.      X menjual mobilnya kepada Y
Perikatan adalah suatu hubungan hukum, artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Jadi harus dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Contoh : - Janji untuk membayar hutang
- Janji untuk berangkat kuliah bersama
Jadi hubungan yang berada diluar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.
Pada mulanya ukuran untuk menentukan ada tidaknya hubungan hukum adalah segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, sehingga inilah yang disebut perikatan.
Akan tetapi pada perkembangannya, ukuran tersebut sudah ditinggalkan, karena sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badan akibat perbuatan seseorang.
Obyek Perikatan
→ Berupa memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu
Contoh :
Memberikan sesuatu
Penjual berkewajiban menyerahkan barang yng dijualnya
Pemilik sewa berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan
Berbuat sesuatu
Adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu, misalnya melukis
Tidak berbuat sesuatu
Yaitu jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan membangun sebuah rumah


Syarat Obyek Perikatan
1.      Harus tertentu atau dapat ditentukan (1320 BW), misalnya membangun sebuah rumah maka harus ditentukan bagaimana bentuknya, luasnya dsb.
2.      Obyeknya diperkenankan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan atau UU
3.      Prestasinya dimungkinkan
Subyek Perikatan
Para pihak pada suatu perikatan disebut sebagai subyek-subyek perikatan, dalam hal ini yaitu kreditur (yang mempunyai hak) dan debitur (yang mempunyai kewajiban) atas suatu prestasi.
Eksekusi Riil
Adalah pelaksanaan prestasi sesuai yang telah diperjanjikan oleh debitur. Hal ini terjadi dalam hal debitur menolak melaksanakan prestasi, maka kreditur dapat memaksa debitur untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan tsb.
Jika kreditur tidak dapat melaksanakan eksekusi riil, maka baginya masih terdapat upaya hukum lain seperti ganti rugi, uang paksa dan pembatalan pada persetujuan timbal balik.
Dalam hal apa saja dapat dilakukan eksekusi riil?
1.      Dalam perikatan untuk tidak berbuat, maka dimungkikan untuk dilakukan eksekusi riil (Ps. 1240 BW).
Contoh: Debitur telah berjanji untuk tidak mendirikan suatu bangunan, tetapi ternyata dia tidak menepati janjinya, maka kreditur dapat meminta kepada hakim untuk diberikan wewenang meniadakan/membongkar bangunan tersebut dengan biaya yang dibebankan kepada debitur.
2.      Dalam perikatan untuk memberi, UU hanya menentukan beberapa kemungkinan untuk terjadinya eksekusi riil, yaitu dalam hal:
a.      Prestasinya berupa memberi uang, kreditur dapat menjual dimuka umum barang-barang debitur dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut
b.      Debitur berkewajiban untuk memberikan hipotik yang diatur dalam pasal 1171 BW
3.      Pada perikatan untuk berbuat sesuatu yang prestasinya berhubungan dengan pribadi debitur atau dengan kata lain prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri, maka tidak dapat dilakukan eksekusi rill, akan tetapi dapat dilakukan upaya hukum lain.
Contoh: A mengadakan persetujuan dengan seorang pelukis atau penyanyi.

Akan tetapi jika prestasi itu terlepas dari pribadi si debitur, maka kreditur dapat menyuruh pihak ke3 untuk melakukan prestasi tsb dengan biaya yang dibebankan kepada debitur.
Contoh: A mengadakan perjanjian dengan B untuk menebang pohon/mendirikan bangunan.



BAB II
PERIKATAN PADA UMUMNYA


Kenyataan Hukum
Adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum.
Contoh:
-          Kelahiran adalah suatu kenyataan hukum, akibat hukumnya adalah kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan
-          Perjanjian/persetujuan adalah merupakan kenyataan hukum yang menimbulkan akibat hukum berupa perikatan
Kenyataan hukum dibedakan kedalam:
1.      Perbuatan hukum. Yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum.
Dibagi menjadi:
a.      Perbuatan hukum bersegi satu. Terjadinya cukup dengan pernyataan kehendak dari seorang saja.
Contoh: Ijin orang tua untuk melangsungkan perkawinan, pengakuan anak diluar nikah, pelepasan hak kebendaan, pembuatan surat wasiat.
b.      Perbuatan hukum bersegi dua/jamak. Untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih.
2.      Perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum. Yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang yang melakukannya tidak memikirkan sama sekali bahwa hal tersebut akan menimbulkan akibat hukum. Jadi intinya tidak bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum sama sekali.
Dibagi menjadi:
a.      Perbuatan menurut hukum, misalnya perwakilan sukarela.
b.      Perbuatan melawan hukum
3.      Peristiwa Hukum. Adakalanya UU memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau peristiwa yang bukan terj
4.      adi karena perbuatan manusia.
Contoh: kelahiran, kematian


Sumber-sumber Perikatan
Sumber perikatan dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Perikatan yang timbul dari undang-undang, dibagi menjadi
a.      bersumber dari UU saja, contoh kewajiban mendidik anak
b.      bersumber dari UU karena perbuatan manusia, contoh perwakilan sukarela, perbuatan melawan hukum
2.      Perikatan yang timbul dari persetujuan.
Prestasi
Memberi, yaitu adalah sama dengan berbuat, akan tetapi yang dimaksud dengan memberi disini adalah menyerahkan hak milik atau memberikan kenikmatan atas sesuatu benda.
Berbuat, adalah setiap prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya melukis atau menebang pohon.
Tidak berbuat, prestasi debitur hanya berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu, misalnya tidak akan mendirikan bangunan atau tidak akan menghalangi seseorang mendirikan bangunan.
Kesalahan, Kelalaian dan Kesengajaan
A.   Kesalahan
Seorang debitur yang berkewajiban menyerahkan suatu barang, akan tetapi dia tidak memelihara barang tsb sebagaimana disyaratkan oleh UU, maka ia bertanggung jawab atas berkurangnya nilai harga barang tersebut karena kesalahannya.

Kesalahan mempunyai 2 pengertian
→ Dalam arti luas yaitu meliputi kesengajaan dan kelalaian
→ Dalam arti sempit hanya mencakup kelalaian saja
Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi:
1.      Perbuatan yang dilakukan seharusnya dapat dihindarkan
2.      Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada “si pembuat”, sebab diasumsikan bahwa ia dapat menduga tentang akibatnya
Apakah akibat tersebut dapt diduga atau tidak, maka harus diukur secara obyektif (secara umum menurut manusia yang normal dan subyektif (menurut keahlian seseorang)
B.   Kelalaian
Adalah perbuatan dimana “si pembuat” mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Jadi akibat yang akan timbul masih mungkin, bisa terjadi bisa tidak. Contoh : kebut-kebutan di jalan
C.   Kesengajaan
Adalah perbuatan yang dilakukan dengan diketahui/sadar dan dikehendaki.
Untuk terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain, cukup ketika “si pembuat” meskipun tahu akan akibatnya, toh tetap melakukan perbuatan tersebut. Jadi akibat yang akan timbul sudah pasti terjadi.
Contoh: A hutang pada B. Karena sudah ditagih berkali-kali A tak juga membayar, maka dia menyewa tukang pukul untuk menagih A. Yang terjadi A babak belur.

Ingkar Janji/Wanprestasi
Debitur punya kewajiban untuk memenuhi prestasi, jika ia tidak melaksanakannya dan bukan karena adanya keadaan memaksa, maka debitur dianggap melakukan ingkar janji/wanprestasi.
Ada 3 bentuk ingkar janji:
1.      Tidak memenuhi prestasi sama sekali
Yaitu ketika debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasi sama sekali
2.      Terlambat memenuhi prestasi
Yaitu ketika prestasi dari debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya
3.      Memenuhi prestasi secara tidak baik
-          Ketika prestasi debitur diakukan secara tidak baik, maka dianggap terlambat melakukan prestasi jika prestasinya masih dapat diperbaiki
-          Akan tetapi jika tidak dapat diperbaiki, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali
Contoh: Pengrajin meubel dpt order dari luar negeri, deadline 2 minggu. Setelah selesai tepat 2 minggu barang dikirim. Akan tetapi ternyata ditolak karena hasilnya tidak sesuai. Oleh si pemesan dia diberi kesempatan memperbaiki dalam jangka 1 minggu. Dalam hal ini si pengarajin masih punya kesempatan untuk memperbaiki prestasinya. Maka dalam hal ini si pengrajin dianggap terlambat memenuhi prestasi.
Ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi debitur, sebab akibat dari ingkar janji tersebut debitur wajib mengganti segala kerugian yang timbul sebagai akibat dari ingkar janji tsb.
Dalam hal debitur ingkar janji, kreditur dapat menuntut:
1.      Pemenuhan perikatan
2.      Pemenuhan perikatan dan ganti rugi
3.      Ganti rugi
4.      Pembatalan persetujuan timbal balik
5.      Pembatalan dengan ganti rugi



Ganti Rugi dalam Ingkar Janji
Ketentuan ganti rugi dalam BW harus diartikan secara luas, meliputi:
1.      Ganti rugi karena ingkar janji
2.      Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum

a.    Bentuk dan besarnya ganti rugi
Ganti rugi dapat berupa sebagai pengganti dari prestasi, akan tetapi dapat juga dapat berdiri sendiri disamping prestasi.
Secara umum biasanya berbentuk UANG sebab dalam BW hanya diatur mengenai kerugian yang bersifat materiil saja, sedangkan yang bersifat inmateriil tidak diatur.
Sedangkanbesarnya ganti rugi, pasal 1246 BW menentukan:
-          Kerugian yang nyata-nyata diderita (biaya iklan, biaya tiket, biaya notaris dsb)
-          Keuntungan yang seharusnya diperoleh (keuntungan penjualan dsb)
b.    Syarat-syarat ganti rugi
UU menentukan 2 syarat yang harus dipenuhi dalam membayar ganti rugi:
1.      Kerugian yang dapat diduga, atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan dibuat
Misalnya kenaikan harga, keuntungan yang diperoleh
2.      Kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta dari adanya ingkar janji
Ada 2 teori:
a.      Conditio Sine Qua Non
Semua rangkaian peristiwa yang terjadi merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Contoh: A ditusuk tangannya oleh B, kemudian A mencuci tangannya dikali, sehingga tetanus dan meninggal.  Jadi kematian A merupakan akibat dari semua rangkaian peristiwa sebelumnya.
Ajaran ini mendapat tentangan dari berbagai pihak dan tidak bisa diterapkan dalam praktek hukum sebab akan memperluas pertanggungjawaban
b.      Adequate Veroorzaking
Teori ini berpendapat bahwa satu syarat merupakan sebab, jika menurut pengalaman dapat diduga/menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat.
c.    Beban Pembuktian
Dibebankan kepada Kreditur. Rasionya karena kreditur yang menuntut ganti rugi, sehingga dialah yang harus mengemukakan dan membuktikan bahwa debitur telah melakukan ingkar janji yang berakibat krugian pada kreditur.
Pasal 1244 BW: Debitur dapat melepaskan dirinya dari membayar ganti rugi jika ia dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi akibat keadaan yang tak terduga/keadaan memaksa dan tidak dapat dipersalahkan kepadanya.
d.    Bunga menurut Undang-undang
Ada 3 macam bunga:
1.      Bunga Konvensionil : bunga pinjaman
2.      Bunga Moratoire: bunga keterlambatan atas pembayaran pinjaman
3.      Bunga Kompensatoire: Bunga yang harus dibayar oleh debitur (penjual) apabila kreditur (pembeli) sebagai akibat keterlambatan penjual menyerahkan barang, maka pembeli harus meminjam uang dengan bunga yang digunakan untuk membeli barang tsb dari pihak ke3 dengan harga yang telah naik.

e.    Bunga-berbunga
Hal ini dilarang karena merugikan debitur.

Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeure)
Pengertian:
Adalah suatu keadaan yang menghalangi debitur untuk dapat memenuhi prestasinya, dimana keadaan tersebut diluar kendali/kehendak manusia (debitur) karena debitur tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
→ Sehingga dalam hal yang demikian tersebut terjadi, debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko.
→ Keadaan memaksa menghentikan perikatan, dan menimbulkan berbagai akibat, antara lain:
1.      Kreditur tidak bisa meminta pemenuhan prestasi
2.      Debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi, sehingga tidak wajib membayar ganti rugi
3.      Resiko tidak beralih kepada debitur
4.      Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik
Syarat Keadaan Memaksa:
1.    Harus terjadi setelah dibuatnya persetujuan.
Ketika persetujuan sudah dibuat, akan tetapi kemudian prestasinya tidak mungkin dilakukan karena adanya keadaan memaksa, maka persetujuan menjadi batal demi hukum.
2.    Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi harus mengenai prestasinya sendiri.
Contoh:
a.      A beli gula 1 ton pada B dg kesepakatan harga Rp. 10 jt serta tgl pengiriman 28 sept. Ternyata setelah dikirim tgl 28 tsb harga gula naik menjadi Rp. 15 jt. Maka dlm hal ini tidak bisa dikatakan terjadi keadaan memaksasebagai akibat hal yang tidak terduga sehingga prestasinya mengalami ketidakseimbangan. Sebab prestasi B adalah menyerahkan gula. Disini B tidak terhalang untuk melakukan prestasi yaitu menyerahkan gula.
b.      Kasus yang sama dg (a), akan tetapi kemudian terjadi tsunami sehingga sangat sulit mendapatkan gula. Maka disini B terhalang untuk memenuhi prestasi yaitu menyerahkan gula karena memang barangnya tidak ada.
3.    Debitur yang tidak dapat menyerahkan barangnya karena dicuri, tidak dapat dinyatakan bersalah jika ia telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyimpan barang tersebut. Lain ketika barang tersebut dicuri dari mobil debitur yang tidak dikunci.
4.    Debitur tidak harus menanggung resiko, artinya baik berdasarkan UU, persetujuan, maupun pandangan masyarakat yang berlaku tidak wajib menanggung resiko.
5.    Debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perikatan dibuat.

Teori Keadaan Memaksa.
1.    Teori Obyektif
Dapat dikatakan keadaan memaksa jika pemenuhan prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan.
Contoh:
penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah musnah akibat gempa bumi.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, teori obyektif sudah tidak berpegang pada ketidakmungkinan yang bersifat mutlak, akan tetapi bahwa keadaan memaksa menurut teori obyektif adalah termasuk jika barangnya hilang atau diluar perdagangan.
2.    Teori Subyektif
Dapat dikatakan keadaan memaksa jika keadaan pribadi debitur yang bersangkutan tidak dapat memenuhi prestasinya.
Contoh:
A (pemilik industri kecil) harus menyerahkan barang pada B (pemesan) dimana barang tsb masih harus dibuat dengan bahan khusus. Tanpa diduga, bahan tersebut harganya sudah naik berlipat ganda sehingga jika A tetap harus memenuhi prestasi ia akan menjadi miskin. Maka dalam hal ini teori subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika A adalah pemilik industri besar, maka tidak terdapat keadaan memaksa.

Adakalanya bahwa sekalipun debitur tidak bersalah, ia tetap harus menanggung resiko dan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi baik karena diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan (Ps. 1367 BW)
Contoh:
1.    Perusahaan angkutan harus mengangkut barang ke suatu tempat. Meskipun telah menggunakan tali yang baru dan kuat, tali tsb putus sehingga barang menjadi rusak. Dalam hal ini memang tidak ada kesalahan pada debitur. Akan tetapi karena sifatnya persetujuan pengangkutan,  maka debitur (pengangkut) harus memberikan jaminan oleh karena itu pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
2.    Orang tua/wali bertanggung jawab atas perbuatan yang merugikan dari anak-anaknya.
3.    Guru bertanggung jawab atas muridnya.
4.    Majikan bertanggung jawab atas perbuatan buruhnya.

Sifat Keadaan Memaksa
1.    Tetap → maka perikatan berhenti sama sekali
Contoh : barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah
2.    Sementara → berlakunya perikatan ditunda
Contoh : larangan untuk mengirim barang dicabut; barang yang hilang telah ditemukan lagi
Resiko
Siapa yang harus menanggung resiko jika pemenuhan prestasi terhalang karena keadaan memaksa?
1.    Resiko pada persetujuan sepihak
Pasal 1245 BW “resiko ditanggung kreditur” → atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasi.
Contoh : Hibah rumah
Akan tetapi dalam ps. 1237 dan 1444 BW menentukan bahwa “debitur wajib membayar ganti rugi jika barang musnah setelah debitur lalai untuk menyerahkan barangnya.
2.    Resiko pada persetujuan timbal balik
Contoh : A harus menyerahkan kuda pada B
              B harus menyerahkan sapi pada A
Maka jika kuda A mati karena disambar petir, maka B tetap dapat menguasai sapinya. Jadi seolah-olah tidak pernah terjadi persetujuan antara A dan B.
Jenis-jenis Perikatan
A.   Dari segi isi dan prestasinya
1.      Perikatan positif dan negatif
Positif adalah apabila prestasinya berupa perbuatan nyata, misal memberi/berbuat sesuatu
Negatif adalah apabila prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu
2.      Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Sepintas lalu adalah apabila untuk pemenuhan prestasinya cukup hanya dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai (jual beli tunai)
Berkelanjutan adalah apabila perikatan berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu tertentu (jual beli kredit, sewa menyewa, persetujuan kerja)
3.      Perikatan alternatif
Apabila debitur berkewjiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih dengan pengertian bahwa dengan pelaksanaan salah satu pretasi akan mengakhiri perikatan.
Contoh: A harus menyerahkan kuda atau sapinya kepada B.
Dalam perikatan alternatif tidak disyaratkan bahwa barang yang dipilih harus barang yang berlainan. Bisa saja barang yang sama akan tetapi dengan syarat yang berlainan.
Contoh: A harus menyerahkan beras Cianjur sebanyak 100kg dalam waktu 1 bulan, atau 120kg setelah 3 bulan.
4.      Perikatan fakultatif
Adalah suatu perikatan yang obyeknya berupa suatu prestasi dimana prestasi tsb dapat digantikan dengan prestasi lain.
Contoh: Harus menyediakan kamar hotel, diganti dengan menyediakan losmen/wisma.
5.      Perikatan generik dan spesifik
Generik adalah perikatan yang obyeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya (gula pasir 100kg)
Spesifik adalah perikatan yang obyeknya harus ditentukan secara terperinci (rumah ttt)
6.      Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Untuk menentukan apakah perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada prestasinya dapat dibagi atau tidak.
Perikatan dapat dibagi apabila para pihak atau salah satu pihak terdiri lebih dari satu subyek. Misalnya pembagian waris. Dalam hal yang demikian, maka setiap debitur hanya dapat dituntut atau setiap kreditur hanya dapat menuntut bagiannya sendiri.
Dalam hal hanya ada 1 debitur dan 1 kreditur saja, maka prestasi harus dilaksanakan sekaligus meskipun prestasinya dapat dibagi.
Perikatan yang tidak dpt dibagi, dibedakan menjadi:
a.      Menurut sifatnya
Ps. 1296 BW, perikatan tidak dapat dibagi jika obyek dalam perikatan berupa barang yang menurut sifatnya memang tidak dapat dibagi baik secara nyata maupun dengan perhitungan (tanaman, binatang, kursi)
b.      Menurut tujuan para pihak
Perikatan tidak dapat dibagi jika maksud para pihak bahwa prestasinya harus dilakukan sepenuhnya, sekalipun prestasinya dapat dibagi (misalnya menyerahkan hak milik atas suatu benda)
B.   Dari segi subyek-subyeknya
1.      Perikatan Tanggung Renteng
Dibagi menjadi:
a.    Tanggung reteng aktif
Dalam hal ini kreditur lebih dari satu/banyak, sedangkan debitur hanya satu.
Pemenuhan prestasi dari debitur kepada salah seorang kreditur, maka membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya
b.    Tanggung renteng pasif
Dalam hal ini hanya ada satu kreditur, sedangkan debitur lebih dari satu.
Dengan dipenuhinya prestasi dari seorang debitur, maka membebaskan debitur lainnya.
Yang banyak terjadi dalam praktek adalah tanggung renteng pasif karena tanggung renteng aktif mengandung kelemahan. Kedudukan kreditur dalam tanggung renteng pasif lebih terjamin.

Perikatan tanggung renteng terjadi karena:
i.      Kehendak para pihak
Ps. 1278 BW, bahwa untuk terjadinya perikatan tanggung renteng aktif harus tegas dinyatakan dalam persetujuan.
ii.    Berdasarkan ketentuan UU (Ps. 563 BW)
Jika untuk memenuhi suatu prestasi ada beberapa orang pelaksana, maka dapatlah masing-masing debitur menjalankan tugasnya sendiri bila yang lain berhalangan, akan tetapi mereka masing-masing tetap memikul tanggung jawab untuk seluruhnya atas pelaksanaan prestasi.
Contoh: -  Pesero dalam firma
-  Beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang sebagai pinjaman, maka mereka itu masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberi pinjaman.

2.      Perikatan Pokok dan Accessoire
Perikatan accessoire adalah merupakan perikatan pelengkap, yaitu suatu perikatan yang mengikuti perikatan pokoknya.
Contoh: Hutang piutang dengan jaminan
Jadi perikatan accessoire tidak akan ada kalau tidak ada perikatan pokoknya.

iii.  Dari segi mulai berlaku dan berakhirnya perikatan
a.      Perikatan Bersyarat
Dibagi menjadi:
-          Perikatan Bersyarat yang menangguhkan
Dalam perikatan ini, maka perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi
Contoh: A akan jual rumahnya pada B, jika A diangkat menjadi Duta Besar
Maka ketika A menjadi Duta Besar maka peretujuan jual beli berlaku, jadi A harus menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya.
-          Perikatan Bersyarat yang menghapuskan
Dalam perikatan ini, maka perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi. Dalam hal ini ada 2 kemungkinan:
1.      Keadaan dikembalikan seperti semula, seolah-olah tidak terjadi perikatan
Contoh: A jual rumahnya pada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar
Maka jika A benar menjadi Duta Besar, maka rumah dan uang harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
2.      Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya
Contoh: A menyewakan rumah pada B selama 5 tahundengan syarat batal jika A menang undian 1 milyar
Sewa berjalan 1 tahun, dan ternyata A benar-benar menang undian. Maka perikatan yang batal adalah perikatan untuk waktu selanjutnya


b.      Perikatan dengan Ketentuan Waktu
Adalah perikatan yang berlakunya atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa tertentu, yaitu:
1.      Waktu atau peristiwa yang dapat ditentukan terjadinya;
Contoh: Penyerahan barang pada tanggal 2 Oktober 2013
2.      Waktu atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi meskipun belum diketahui kapan akan terjadi.
Contoh: Matinya debitur
Perikatan dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi:
1.      Ketentuan waktu yang menangguhkan
Dalam hal ini perikatan dianggap belum ada sebelum saat yang ditentukan terjadi, atau menurut pasal 1268 BW bahwa : perikatan sudah ada hanya pelaksanaannya ditunda/ditangguhkan. Sehingga debitur tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya tiba.
2.      Ketentuan waktu yang menghapuskan
Dalam hal ini, maka ketika ketentuan waktunya dipenuhi, maka perikatan menjadi hapus, dan debitur tidak lagi terikat.
Contoh: Seorang buruh mengadakan ikatan kerja selama 1 tahun, setelah lewat 1 tahun ia tidak punya kewajiban lagi untuk bekerja.
























BAB III
PERIKATAN YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN

A.   Persetujuan Pada Umumnya
Pasal 1313 BW memberikan pengertian persetujuan sebagai berikut:
“Persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Rumusan ini dianggap kurang lengkap dan sangat luas. Oleh karena itu pengertian tersebut disempurnakan sebagai berikut:
1.      Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum
2.      Menambahkan perkataan”atau saling mengikatkan dirinya”
Sehingga rumusannya menjadi:
Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Persetujuan selalu merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak, dimana untuk terjadinya diperlukan kata sepakat para pihak.
B.   Bagian-bagian/Unsur-unsur Persetujuan
1.      Essentialia:
Bagian dari persetujuan yang tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada.
Contoh: Harga dalam persetujuan jual beli
2.      Naturalia:
Bagian yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur
Misalnya: Penanggungan
3.      Accidentalia:
Bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan, dimana undang-undang tidak mengaturnya.
Misalnya: Jual beli rumah beserta perabotannya

C.   Macam-macam  Persetujuan Obligatoir
Persetujuan Obligatoir adalah persetujuan yang menimbulkan perikatan.
Macamnya:
1.      Persetujuan sepihak dan timbal balik
Persetujuan sepihak : hanya menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja
Persetujuan timbal balik: menimbulkan kewjiban pokok kepada kedua belah pihak
2.      Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas beban
Persetujuan Cuma-Cuma: salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara Cuma-Cuma
Persetujuan atas beban: persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak yang lain
3.      Persetujuan konsensuil, riil dan formil
Persetujuan konsensuil: persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat
Persetujuan riil: persetujuan dimana selain kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang (hibah)
Persetujuan formil: persetujuan yang dituangkan dalam bentuk tertentu/formil (wakaf)
4.      Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran
Persetujuan bernama: persetujuan yang telah diatur oleh undang-undang (KUHD) secara khusus (persetujuan asuransi dan pengangkutan)
Persetujuan tidak bernama:persetujuan yang tidak diatur secara khusus
D.   Macam-macam Persetujuan Lainnya
1.      Persetujuan Liberatoire
Adalah perbuatan hukum atas dasar kesepakatan para pihak untuk menghapuskan perikatan yang telah ada
Contoh: A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, 2 hari kemudian dibatalkan lagi atas persetujuan mereka berdua.
2.      Persetujuan dalam hukum keluarga
Misalnya perkawinan, dianggap merupakan persetujuan karena terjadi berdasar kata sepakat suami-isteri
3.      Persetujuan kebendaan
Adalah persetujuan untuk menyerahkan benda, menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
4.      Persetujuan mengenai pembuktian
Para pihak bebas untuk mengadakan persetujuan mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses.
E.    Berlakunya Persetujuan
Persetujuan pada azasnya hanya berlaku dan mengikat para pihak yang membuat persetujuan saja (pasal 1315-1318 dan pasal 1340 BW)
Akan tetapi ada pengecuaian terhadap azas ini (pasal 1317 BW), yaitu mengenai janji bagi kepentingan terhadap pihak ketiga.
Contoh: beralihnya hak dan kewajiban kepada penggantinya (ahli waris), pembeli menggantikan hak-hak penjual sebagai pihak yang menyewakan
F.    Janji Bagi Kepentingan Pihak Ketiga (Pasal 1340 ayat 2)
Menurut pasal 1340 ayat 2 BW bahwa persetujuan tidak boleh merugikan atau menguntungkan pihak ke-3 kecuali mengenai apa yang telah diatur dalam pasal 1317 BW. Jadi suatu persetujuan pada azasnya tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak ke-3 kecuali jika dibuat suatu janji bagi kepentingan pihak ke-3.
Janji bagi kepentingan pihak ke-3 hanya mungkin dalam 2 hal, yaitu:
1.      Jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain. Misalnya A menghadiahkan rumahnya pada B dengan membebankan kpd B kewajiban untuk melakukan prestasi untuk C.
2.      Jika seseorang dalam persetujuan membuat suatu janji untuk kepentingan sendiri. Misalnya A menjual rumahnya kepada B dengan janji bahwa B akan melakukan beberapa prestasi untuk C

G.   Timbulnya Hak Bagi Pihak Ketiga
Untuk menentukan timbulnya hak bagi pihak ketiga, ada 3 teori:
1.      Teori Penawaran
Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran. Selama pihak ketiga belum menerima tawaran tersebut, maka penawran masih dapat dicabut kembali. Jadi hak pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima.
2.      Teori Pernyataan yang menentukan sesuatu hak
Menurut teori ini, hak pihak ketiga timbul pada saat dibuatnya persetujuan antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Janji terebut tidak dapat ditarik kembali manakala pihak ketiga telah menyatakan menerima.
3.      Teori Pernyataan untuk memperoleh hak
Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru timbul setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut.
H.   Terjadinya Persetujuan
Pasal 1320 BW menentukan 4 syarat untuk sahnya persetujuan:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Cakap untuk membuat perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab atau causa halal
Detik lahirnya suatu persetujuan/perjanjian adalah sejak adanya kata sepakat.
Timbul pertanyaan: Bagaimana untuk menentukan bahwa telah terjadi “kata sepakat”?
Ada beberapa teori:
1.      Teori Kehendak
Teori ini menekankan pada kehendak seseorang. Jika kehendak seseorang sdh diketahui, maka dikatakan telah terjadi kata sepakat
2.      Teori Pernyataan
Menurut teori ini, maka kehendak seseorang harus dinyatakan secara tegas untuk tercapainya kata sepakat. Jadi teori ini berpegang pada apa yang dinyatakan.
3.      Teori Kepercayaan
Teori ini yang dianut oleh yurisprudensi. Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.
Pada perkembangannya, seringkali terjadi transaksi dilakukan tanpa hadirnya para pihak. Lalu bagaimana untuk menentukan telah terjadi “kata sepakat”?
Muncul beberapa teori:
1.      Teori ucapan
Kata sepakat terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut.
2.      Teori Pengiriman
Terjadinya kata sepakat adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban
3.      Teori Pengetahuan
Terjadinya kata sepakat adalah setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui
4.      Teori Penerimaan
Terjadinya kata sepakat adalah pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan

I.      Akibat-akibat Persetujuan
Pasal 1338 ayat (1) BW menentukan bahwa setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa persetujuan tsb mengikat  para pihak.

J.     Pembatalan Persetujuan Timbal Balik
Azas: Apabila salah satu pihak dalam persetujuan timbal balik tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi prestasinya. Jadi persetujuan dianggap batal. Dalam hal ini krediturlah yang berhak untuk menuntut pembatalannya, bukan debitur. Selain pembatalan, kreditur dapat melakukan upaya hukum lain (lihat lagi halaman 6).

Pasal 1266 BW menentukan 3 syarat untuk terlaksananya pembatalan persetujuan:
1.      Harus merupakan persetujuan timbal balik
2.      Harus ada ingkar janji
3.      Putusan Hakim, pembatalan harus melalui putusan hakim
Akibat pembatalan, maka berarti hubungan hukum yang terjadi karena persetujuan tersebut juga menjadi batal, sehingga masing-masing pihak tidak perlu lagi memenuhi prestasinya sebab perikatan telah hapus.

K.   Hapusnya Persetujuan
Persetujuan dapat hapus karena:
1.      Ditentukan oleh para pihak dalam persetujuan. Misalnya dalam persetujuan untuk waktu tertentu.
2.      Ditentukan dalam UU mengenai batas waktu berlakunya suatu persetujuan.
Misal: menurut ps. 1066 ayat 3 bahwa para ahli waris dapat mengadakan untuk selama waktu tertentu tidak melakukan pemecahan harta warisan (batas waktu ditentukan dalam ayat 4, yaitu hanya untuk 5 tahun)
3.      Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus
Misalnya jika salah satu meninggal persetujuan menjadi hapus.
-          Persetujuan perseroan (ps. 1646 ayat 4 BW)
-          Perstujuan pemberian kuasa (ps. 1813 BW)
-          Persetujuan kerja (ps. 1603j BW)
4.      Pernyataan oleh salah satu atau kedua belah pihak (hanya untuk persetujuan yang bersifat sementara)
-          Persetujuan kerja
-          Persetujuan sewa menyewa
5.      Karena putusan hakim
6.      Tujuan persetujuan telah tercapai
7.      Dengan persetujuan para pihak

























BAB IV
PERIKATAN YANG TERJADI KARENA UNDANG-UNDANG

Sumber-sumber Perikatan
Sumber perikatan dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Perikatan yang timbul dari undang-undang, dibagi menjadi
a.      bersumber dari UU saja, contoh kewajiban mendidik anak
b.      bersumber dari UU karena perbuatan manusia, contoh perwakilan sukarela, perbuatan melawan hukum
2.      Perikatan yang timbul dari persetujuan.

Perikatan Yang Bersumber dari UU Karena Perbuatan Manusia dibagi menjadi:
a.      Perbuatan Manusia menurut hukum
b.      Perbuatan Manusia yang melawan hukum

A.   Perbuatan Manusia Menurut Hukum
Adalah perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam UU/hukum akan tetapi tidak dilarang oleh UU (= diperbolehkan).
Apa saja perbuatan tsb?
1.    Perwakilan Sukarela (Zaakwaarneming)
Perwakilan sukarela adalah:
Suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan resiko yang ditanggung orang tersebut.

Syarat Perwakilan Sukarela:
1.      Yang diurus adalah kepentingan orang lain
2.      Mengurus kepentingan orang lain yang diwakilinya tersebut secara suka rela, hal ini berarti bahwa ia berbuat atas inisiatif sendiri bukan berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan oleh UU atau persetujuan.
3.      Seorang wakil suka rela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain
4.      Inisiatifnya untuk bertindak sebagai wakil suka rela dibenarkan
Kewajiban seorang wakil sukarela:
1.      Harus bertindak selaku bapak rumah tangga yang baik
2.      Harus meneruskan pekerjaannya sehingga orang yang diwakilinya dapat mengurus sendiri kepentingannya
3.      Jika yang diwakili meninggal, ia tetap berkewajiban meneruskan pengurusan sampai ahli warisnya dapat mengambil alih kewajibannya
4.      Memberikan laporan dan perhitungan menegenai apa yang ia terima
5.      Bertanggung jawab atas kerugian yang diderita disebabkan pelaksanaan tugas yang kurang baik

Hak seorang wakil sukarela:
1.      Tidak berhak mendapat upah akan tetapi berhak mendapat penggantian atas biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pekerjaannya selaku wakil suka rela
2.      Hak retensi, yaitu hak menahan barang milik orang yang diwakili sampai mendapat penggantian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan

2.    Pembayaran Tidak Terutang (Onverschuldidge Betaling)
→ Seseorang yang membayar tanpa adanya hutang, maka ia berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan.
→ Dan orang yang menerima pembayaran tanpa adanya hak, berkewajiban untuk mengembalikan.

Pembayaran disini harus diartikan sebagai “setiap pemenuhan prestasi”, jadi tidak hanya berupa pembayaran uang saja, akan tetapi juga penyerahan barang, memberikan kenikmatan dan mengerjakan suatu pekerjaan.

Dalam hal pengembaliannya tidak mungkin, maka dapat diperhitungkan nilai harganya.

Dalam pembayaran tidak terhutang, “Kekeliruan” bukanlah menjadi syarat. Jadi meskipun diakukan dengan sadar, tanpa adanya unsur kekeliruan, maka seseorang dapat menuntut pengembalian.

B.   Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 BW menentukan:
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.
Untuk dapat mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus memenuhi syarat:
1.      Perbuatan melawan hukum
2.      Harus ada kesalahan
3.      Harus ada kerugian yang ditimbulkan
4.      Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian

PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Apa itu perbuatan melawan hukum?
Pasal 1365 BW memberikan pengertian Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:
→Tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan saja melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang, yaitu kaidah-kaidah sosial lainnya (kebiasaan, kesopanan, dan kesusilaan serta melanggar hak orang lain). Mengapa?Karena tidak semua kepentingan diatur oleh UU.

KESALAHAN
Syarat Kesalahan:
1.      Dapat diukur secara obyektif
Yaitu harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal secara umum dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat, sehingga ia dapat berpikir untuk berbuat atau tidak berbuat.
2.      Dapat diukur secara subyektif
Yaitu harus diteliti lebih lanjut, apakah si pembuat dapat menduga akibat yang akan muncul dari perbuatannya dan apakah ia dapat dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya tsb. Hal ini karena orang yang tidak tahu apa yang dia lakukan, tidak wajib membayar ganti rugi. Misalnya anak kecil atau orang gila, atau orang yang terpaksa melakukan suatu perbuatan karena ancaman/intimidasi, maka ia tidak dapat dipersalahkan.

KERUGIAN
Kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat berupa:
1.      Kerugian Materiil
2.      Kerugian Idiil/Inmateriil
Kerugian Materiil
Kerugian Materiil dapat berupa:
- kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
- keuntungan yang seharusnya diperoleh
Contoh : A merusak mobil pick-up B (seorang penjual sayur)
Maka dalam hal ini A harus mengganti kerugian B yaitu membayar biaya reparasi pick-up (kerugian yang nyata) dan mengganti penghasilan/keuntungan B selama pick-up nya rusak sehingga ia tdk bisa berjualan (keuntungan yang seharusnya diperoleh)
Kerugian Idiil/Inmateriil
Kerugian Idiil berupa: ketakutan, sakit (termasuk cacat dan luka), dan kehilangan kesenangan hidup.
Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya atas apa yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.

HUBUNGAN CAUSAL ANTARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM DENGAN KERUGIAN
Ada 2 teori:
1.      Conditio Sine Qua Non
2.      Adequate Veroozaking

















Bab V
HAPUSNYA PERIKATAN

Beberapa Cara Hapusnya Perikatan
I.               Pembayaran
“Pembayaran” disini harus diartkan sebagai setiap pelunasan perikatan, jadi tidak selalu berupa “uang”
Pada umumnya dengan dilakukan pembayaran, maka perikatan menjadi hapus. Akan tetapi bisa terjadi bahwa perikatan tetap ada, dan kedudukan kreditur semula digantikan oleh pihak ke-3 (subrogasi).
Pertanyaannya:
Siapa yang harus melakukan pembayaran?
Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga dapat pula oleh orang lain baik oleh: (1) orang yang berkepentingan maupun oleh (2) orang yang tidak berkepentingan

Menurut ketentuan pasal 1382 ayat 1 BW, bahwa perikatan dapat dibayar oleh yang berkepentingan, misalnya orang yang turut berhutang atau seorang penanggung hutang. Orang yang tidak berkepentingan, misalnya bertindak atas nama si berhutang.

Dalam perikatan untuk menyerahkan hak milik, maka untuk sahnya pembayaran pasal 1384 ayat 1 mensyaratkan bahwa orang yang membayar adalah pemilik dan berwenang memindahtangankan barangnya, jika tidak maka pembayaran dapat dinyatakan tidak sah. Dalam hal yang demikian, maka Kreditur dapat menolak barangnya dan masih berhak untuk menuntut pemenuhan pretasi.

Kepada siapa pembayan dilakukan?
Menurut ketentuan pasal 1385 BW, pembayaran harus dilakukan kepada:
1.      Kreditur; atau
2.      Orang yang dikuasakan oleh kreditur; atau
3.      Orang yang dikuasakan oleh hakim atau UU untuk menerima pembayaran
Ad. 1
Kreditur adalah orang yang berhak untuk menerima pembayaran.
Pasal 1387 menentukan bahwa pembayaran kepada kreditur yang tidak “cakap” adalah tidak sah, kecuali jika debitur dapat membuktikan bahwa kreditur yang tidak cakap tersebut telah memperoleh manfaat dari pembayaran tersebut.
Dalam hal debitur tidak cakap, maka pembayaran harus dilakukan kepada wakilnya menurut UU.

Ad. 2
Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Disini debitur dapat memilih apakah akan membayar kepada kreditur atau kepada kuasanya. Akan tetapi jika kreditur menghendaki agar debitur membayar kepadanya, maka maka debitur harus memenuhinya, demikian juga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepada kuasanya, maka debitur juga harus memenuhinya.
Ad. 3
Wewenang yang diberikan oleh UU untuk menerima pembayaran bagi kreditur adalah misalnya Curator.
Pembayaran yang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tidak sah kecuali dalam 3 hal:
a.      Kreditur menyetujuinya
b.      Kreditur telah mendapatkan manfaat
c.       Debitur membayar dengan itikad baik
Obyek Pembayaran
Apa yang harus dibayar adalah apa yang terhutang. Kreditur boleh menolak jika ia dibayar dengan prestasi lain selain yang terhutang meskipun nilainya sama atau melebihi nilai piutangnya.
Undang-undang membedakan atas:
a.      Hutang barang spesifik
Debitur atas barang pasti dan tertentu, dibebaskan dari tuntutan kreditur dalam hal terjadi penurunan nilai barang asalkan penyerahan barang dilakukan ditempat dimana dimana barang itu berada dan pengurangan nilai barang antara saat terjadinya perikatan dengan penyerahan tidak disebabkan oleh:
-          Perbuatan atau kelalaian debitur
-          Kesalahan atau kelalaian orang yang menjadi tanggungannya
b.      Hutang barang generik
Debitur atas barang generik tidak harus menyerakan barang yang paling baik atau yang paling buruk.
c.       Hutang uang
Uang disini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah.
Tempat Pembayaran
Menurut pasal 1393 BW, bahwa pembayaran harus dilakukan:
a.      Ditempat yang ditentukan dalam persetujuan. Penentuan dapat dilakukan pada saat dibuat persetujuan atau kemudian
b.      Ditempat dimana barang itu berada pada waktu dibuat persetujuan
c.       Ditempat tinggal kreditur atau ditempat debitur
Waktu Dilakukannya Pembayaran
UU tidak menentukan mengenai kapan pembayaran harus dilakukan, jadi tergantung pada kesepakatan para pihak. Dalamhal para pihak tidak menentukan mengenai waktunya, maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatan terjadi
Subrogasi
Subrogasi adalah penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya pembayaran.
Menurut pasal 1400 BW subrogasi terjadi karena adanya pembayaran oleh pihak ketiga kepada kreditur.
Akibatnya →yaitu bahwa dengan terjadinya subrogasi maka piutang dan hak-hak accessoirnya beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur.
Pasal 1403:
Subrogasi tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur apabila pihak ketiga hanya membayar sebagian piutangnya. Sehingga untuk sisa piutang yang belum dibyar, kreditur masih tetap dapat melaksanakan hak-haknya dan ia mempunyai hak yang didahulukan daripada pihak ketiga.
Contoh:
A mempunyai hutang kepada B sebesar Rp. 12 jt dengan jaminan BPKB motor
X (pihak ketiga) membayar sebagian hutang A kepada B, yaitu sebesar Rp. 8 jt
→ Sisa hutang A adalah 12 jt – 8 jt = 4 jt
Kemudian motor dijual dan laku sebesar Rp. 9 jt.
Maka disini B mempunyai hak untuk didahulukan pelunasan piutangnya yaitu sebesar Rp 4 jt dan sisanya Rp. 5 jt baru diberikan kepada X.
II.             Penawaran Pembayaran Diikuti Dengan Penitipan
UU memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur yaitu dengan jalan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
Contoh: 
A harus menyerahkan barang yang dibeli oleh B, akan tetapi karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan alasan gudangnya penuh. Maka untuk membebaskan diri dari tuntutan wanprestasi, maka A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan.

Penawaran pembayaran dengan penitipan hanya mungkin terjadi pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang bergerak.
Pada umumnya penawaran pembayaran dapat dilakukan setelah ada “penolakan” dari kreditur.
Syarat sah untuk dapat melakukan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan:
1.      Harus ditujukan kepada kreditur atau kuasanya
2.      Dilakukan oleh orang yang berwenang melakukan pembayaran
3.      Ketetapan waktunya telah tiba (sudah jatuh tempo)
4.      Penawaran pembayaran harus meliputi: seluruh uang pokok, bunga dan segala biaya-biaya (ketentuan ini khusus untuk hutang uang)
5.      Penawaran  harus dilakukan ditempat dimana menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan.
6.      Penawaran dilakukan dengan bantuan seorang notaris atau juru sita dan disertai dengan 2 orang saksi
Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia tawarkan. Syarat penitipan:
1.      Sebelum penitipan, kreditur harus diberitahu tentang hari, jam dan tempat dimana barang akan disimpan
2.      Debitur telah melepas barang yang ditawarkan dengan menitipkan barangnya kepada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang akan mengadili jika terjadi perselisihan
3.      Notaris atau jurusita disertai 2 orang saksi membuat berita acara mengenai wujud barang/jumlah uang yang ditawarkan, penolakan kreditur, dan mengenai penyimpanan tsb.
Akibat dari adanya penawaran pembayaran diikuti penitipan:
→ debitur dibebaskan dari kewajiban dan penawaran tersebut berlaku sebagai pembayaran.
Pembebasan tersebut mengakibatkan:
a.      Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau pembatalan pada persetujuan timbal balik
b.      Debitur tidak lagi bisa dikenakan bunga/denda sejak hari penitipan
c.       Sejakhari penitipan kreditur menanggung resiko barangnya
d.      Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi kepada kreditur

III.           Pembaharuan Hutang (Novatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada 3 macam novasi:
1.      Novasi Obyektif, yaitu perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain
Dapat terjadi dengan:
a.      Mengganti atau merubah prestasi perikatan
Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan suatu barang tertentu
b.      Mengubah sebab dari perikatan
Misalnya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, diubah menjadi hutang piutang
2.      Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain
Dapat terjadi dengan 2 cara:
a.      Expromissie, yaitu debitur semula diganti oleh debitur baru tanpa bantuan debitur semula
Misalnya A (debitur) berhutang pada B (kreditur), kemudian B membuat persetujuan dengan C (debitur baru) yaitu bahwa C akan menggantikan kedudukan A dan A akan dibebaskan oleh B dari hutangnya
b.      Delegatie, dimana terjadi persetujuan antara debitur, kreditur semula dan debitur baru. Tanpa persetujuan dari  kreditur, debitur tidak dapat diganti dengan debitur lainnya.
Misalnya A (debitur lama) berhutang pada B (Kreditur), kemudia A mengajukan C sebagai debitur baru kepada B. Antara B dan C diadakan persetujuan bahwa C akan melakukan apa yang harus dipenuhi oleh A terhadap B, sehingga A dibebaskan dari kewajibannya oleh B
3.      Novasi subyektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain
Misalnya: A berhutang Rp. 10.000 kepada B
                  B berhutang Rp. 10.000 kepada C
Dengan novasi maka dapat terjadi A menjadi berhutang kepada C
Hutang A pada B dan hutang B pada C menjadi hapus
IV.          Perjumpaan Hutang (Kompensasi)
Adalah merupakan cara hapusnya perikatan dimana dua orang masing-masing saling terikat sebagai debitur satu dengan lainnya dikarenakan adanya hutang
Contoh:
A berhutang Rp. 1.000 pada B, sebaliknya;
B berhutang Rp. 600 pada A; kedua hutang dikompensasikan, maka
A masih punya hutang pada B Rp. 400
Hutang B pada A lunas

Menurut pasal 1426 BW, jika syarat untuk kompensasi telah ada, maka kompensasi terjadi demi hukum.

Jenis-jenis Kompensasi:
1.      Kompensasi terjadi secara otomatis (menurut UU)
2.      Kompensasi dengan persetujuan



Kompensasi Secara Otomatis
Syarat untuk terjadinya kompensasi menurut UU:
a.      Dua orang secara timbal balik merupakan debitur satu dengan lainnya
b.      Obyek perikatan berupa sejumlah uang atau barang sejenis yang dapat dipakai habis
c.       Piutang-piutangnya sudah dapat ditagih
d.      Piutang-piutangnya dapat diperhitungkan segera
Kompensasi Dengan Persetujuan
Para pihak dapat mengadakan persetujuan mengenai terjadinya kompensasi tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut.
V.            Percampuran Hutang
Percampuran hutang dapat terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu dalam diri seseorang.
Misalnya: A (Kreditur) meninggal, dan B (debitur) merupakan satu-satunya ahli waris A
                  →maka B menggantikan A, sedangkan B juga debitur A, oleh karena itu peri-
                      Katan menjadi hapus

VI.          Pembebasan Hutang
Adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur

UU tidak mengatur mengenai bagaimana terjadinya pembebasan hutang oleh karena itu timbul pertanyaan: Apakah pembebasan hutang terjadi dengan perbuatan hukum sepihak atau timbalik?
2 cara terjadinya pembebasan hutang:
1.      Dengan perbuatan hukum sepihak
Yaitu kreditur menyatakan kepada debitur bahwa ia dibebaskan dari hutangnya.
Menurut Pitlo:
Harus dipenuhi syarat bahwa kreditur hanya berhak membebaskan debitur secara sepihak jika hal tersebut tidak merugikan debitur. Jika menurut hukum debitur mempunyai kepentingan terhadap adanya perikatan tersebut, maka pembebasan sepihak tidak boleh dilakukan
2.      Dengan perbuatan hukum timbal balik/persetujuan
Yaitu pernyataan kreditur bahwa ia membebaskan debitur dari hutangnya dan penerimaan oleh debitur atas pembebasan tersebut

Akibat pembebasan, maka perikatan menjadi hapus. Dalam hal pembebasan dilakukan oleh seseorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan/karena adanya paksaan, kekeliruan atau penipuan maka dapat dituntut pembatalannya.



VII.        Musnahnya Barang Yang Terhutang
Musnahnya barang disini harus terjadi karena overmacht.
Sejak terjadinya perikatan maka barang menjadi tanggungan kreditur, akan tetapi harus diperhatikan bahwa:
1.      debitur sampai saat penyerahan barang berkewajiban untuk merawat benda/barang yang terhutang. Jika debitur lalai, maka resiko ditanggung oleh debitur
2.      jika debitur terhalang untuk menyerahkan barang karena keadaan memaksa (overmacht), maka akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan keadaan memaksa tersebut menjadi tanggungan kreditur


VIII.      Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan
Macam-macam kebatalan:
1.      Batal demi hukum
2.      Dapat dibatalkan


............................................................. Alhamdulillah .............................................................


No comments:

Post a Comment