BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Perikatan
Ada beberapa istilah:
1. KUHPdt menggunakan istilah “Verbintenis” untuk Perikatan, sedang
Persetujuan memakai istilah “Overeenkomst”
2. Utrecht menggunakan istilah “Verbintenis” untuk Perutangan dan
“Overeenkomst” untuk “Pejanjian”
3. Achmad Ichsan menterjemahkan “Verbintenis” untuk Perjanjian dan
“Overeenkomst” untuk Persetujuan
Jadi dapat disimpulkan bahwa di Indonesia ternyata untuk:
1. “Verbintenis” dikenal 3 istilah yaitu Perikatan, Perutangan dan
Perjanjian
2. “Overeenkost” ada 2 istilah yatu Perjanjian dan Persetujuan
R. Setiawan SH.
Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat.
Jadi Verbinten menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”
Overeenkomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya
“setuju” atau “sepakat”. Jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengn
azas konsensualisme yang dianut oleh BW.
Pengertian Perikatan
Perikatan diatur dalam buku III BW. Meskipun demikian, tidak satu
pasalpun dalam BW yang menguraikan pengertian perikatan.
Menurut sejarahnya verbintenis berasal dari bahasa Perancis
“Obligation”/Obligatio (dalam Code Civil Perancis dan dalam hukum Romawi
Corpus.
Dalam perkembangannya, pengertian perikatan telah mengalami perubahan.
Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap
menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu.
Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Kesimpulan:
dalam satu perikatan, paling
sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban.
Contoh:
1. A menitipkan sepedanya kepada B secara Cuma-Cuma
2. X menjual mobilnya kepada Y
Perikatan adalah suatu hubungan hukum, artinya hubungan yang diatur
dan diakui oleh hukum. Jadi harus dibedakan dengan hubungan-hubungan yang
terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Contoh : - Janji untuk membayar hutang
-
Janji untuk berangkat
kuliah bersama
Jadi hubungan yang berada diluar lingkungan hukum bukan merupakan
perikatan.
Pada mulanya ukuran untuk menentukan ada tidaknya hubungan hukum
adalah segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, sehingga inilah yang
disebut perikatan.
Akan tetapi pada perkembangannya, ukuran tersebut sudah ditinggalkan,
karena sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badan akibat perbuatan
seseorang.
Obyek Perikatan
→ Berupa memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu
Contoh :
Memberikan sesuatu
Penjual berkewajiban menyerahkan barang yng
dijualnya
Pemilik sewa berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang
disewakan
Berbuat sesuatu
Adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu, misalnya melukis
Tidak berbuat sesuatu
Yaitu jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu,
misalnya tidak akan membangun sebuah rumah
Syarat Obyek Perikatan
1. Harus tertentu atau dapat ditentukan (1320 BW), misalnya membangun
sebuah rumah maka harus ditentukan bagaimana bentuknya, luasnya dsb.
2. Obyeknya diperkenankan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan atau UU
3. Prestasinya dimungkinkan
Subyek Perikatan
Para pihak pada suatu perikatan disebut sebagai subyek-subyek
perikatan, dalam hal ini yaitu kreditur (yang mempunyai hak) dan debitur (yang
mempunyai kewajiban) atas suatu prestasi.
Eksekusi Riil
Adalah pelaksanaan prestasi sesuai yang telah diperjanjikan oleh
debitur. Hal ini terjadi dalam hal debitur menolak melaksanakan prestasi, maka
kreditur dapat memaksa debitur untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan
tsb.
Jika kreditur tidak dapat melaksanakan eksekusi riil, maka baginya
masih terdapat upaya hukum lain seperti ganti rugi, uang paksa dan pembatalan
pada persetujuan timbal balik.
Dalam hal apa saja dapat dilakukan eksekusi riil?
1. Dalam perikatan untuk tidak berbuat, maka dimungkikan untuk dilakukan
eksekusi riil (Ps. 1240 BW).
Contoh: Debitur telah berjanji untuk tidak
mendirikan suatu bangunan, tetapi ternyata dia tidak menepati janjinya, maka
kreditur dapat meminta kepada hakim untuk diberikan wewenang
meniadakan/membongkar bangunan tersebut dengan biaya yang dibebankan kepada
debitur.
2. Dalam perikatan untuk memberi, UU hanya menentukan beberapa
kemungkinan untuk terjadinya eksekusi riil, yaitu dalam hal:
a. Prestasinya berupa memberi uang, kreditur dapat menjual dimuka umum
barang-barang debitur dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut
b. Debitur berkewajiban untuk memberikan hipotik yang diatur dalam pasal
1171 BW
3. Pada perikatan untuk berbuat sesuatu yang prestasinya berhubungan
dengan pribadi debitur atau dengan kata lain prestasinya hanya dapat
dilaksanakan oleh debitur sendiri, maka tidak dapat dilakukan eksekusi rill,
akan tetapi dapat dilakukan upaya hukum lain.
Contoh: A mengadakan persetujuan dengan
seorang pelukis atau penyanyi.
Akan tetapi jika prestasi itu terlepas dari
pribadi si debitur, maka kreditur dapat menyuruh pihak ke3 untuk melakukan
prestasi tsb dengan biaya yang dibebankan kepada debitur.
Contoh: A mengadakan perjanjian dengan B
untuk menebang pohon/mendirikan bangunan.
BAB II
PERIKATAN PADA UMUMNYA
Kenyataan Hukum
Adalah
suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum.
Contoh:
-
Kelahiran adalah suatu
kenyataan hukum, akibat hukumnya adalah kewajiban untuk memelihara dan
memberikan pendidikan
-
Perjanjian/persetujuan
adalah merupakan kenyataan hukum yang menimbulkan akibat hukum berupa perikatan
Kenyataan
hukum dibedakan kedalam:
1. Perbuatan hukum. Yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum.
Dibagi menjadi:
a. Perbuatan hukum bersegi satu. Terjadinya cukup dengan pernyataan
kehendak dari seorang saja.
Contoh: Ijin orang tua untuk melangsungkan
perkawinan, pengakuan anak diluar nikah, pelepasan hak kebendaan, pembuatan
surat wasiat.
b. Perbuatan hukum bersegi dua/jamak. Untuk terjadinya disyaratkan adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih.
2. Perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum. Yaitu
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang yang
melakukannya tidak memikirkan sama sekali bahwa hal tersebut akan menimbulkan
akibat hukum. Jadi intinya tidak bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum sama
sekali.
Dibagi menjadi:
a. Perbuatan menurut hukum, misalnya perwakilan sukarela.
b. Perbuatan melawan hukum
3. Peristiwa Hukum. Adakalanya UU memberi akibat hukum pada suatu keadaan
atau peristiwa yang bukan terj
4. adi karena perbuatan manusia.
Contoh: kelahiran, kematian
Sumber-sumber
Perikatan
Sumber perikatan dibagi menjadi
2 yaitu:
1.
Perikatan yang timbul
dari undang-undang, dibagi menjadi
a. bersumber dari UU saja, contoh kewajiban mendidik anak
b. bersumber dari UU karena perbuatan manusia, contoh perwakilan
sukarela, perbuatan melawan hukum
2.
Perikatan yang timbul
dari persetujuan.
Prestasi
→Memberi, yaitu adalah
sama dengan berbuat, akan tetapi yang dimaksud dengan memberi disini adalah
menyerahkan hak milik atau memberikan kenikmatan atas sesuatu benda.
Berbuat, adalah
setiap prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya
melukis atau menebang pohon.
Tidak berbuat, prestasi
debitur hanya berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat
sesuatu, misalnya tidak akan mendirikan bangunan atau tidak akan menghalangi
seseorang mendirikan bangunan.
Kesalahan,
Kelalaian dan Kesengajaan
A. Kesalahan
Seorang debitur yang berkewajiban menyerahkan
suatu barang, akan tetapi dia tidak memelihara barang tsb sebagaimana
disyaratkan oleh UU, maka ia bertanggung jawab atas berkurangnya nilai harga
barang tersebut karena kesalahannya.
Kesalahan mempunyai 2 pengertian
→ Dalam arti luas yaitu meliputi kesengajaan dan
kelalaian
→ Dalam arti sempit hanya mencakup kelalaian saja
Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi:
1. Perbuatan yang dilakukan seharusnya dapat dihindarkan
2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada “si pembuat”, sebab
diasumsikan bahwa ia dapat menduga tentang akibatnya
Apakah
akibat tersebut dapt diduga atau tidak, maka harus diukur secara obyektif
(secara umum menurut manusia yang normal dan subyektif (menurut keahlian
seseorang)
B. Kelalaian
Adalah perbuatan dimana “si pembuat” mengetahui
akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Jadi akibat yang
akan timbul masih mungkin, bisa terjadi bisa tidak. Contoh : kebut-kebutan di
jalan
C. Kesengajaan
Adalah perbuatan yang dilakukan dengan
diketahui/sadar dan dikehendaki.
Untuk terjadinya kesengajaan tidak diperlukan
adanya maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain, cukup ketika “si
pembuat” meskipun tahu akan akibatnya, toh tetap melakukan perbuatan tersebut.
Jadi akibat yang akan timbul sudah pasti terjadi.
Contoh: A hutang pada B. Karena sudah ditagih
berkali-kali A tak juga membayar, maka dia menyewa tukang pukul untuk menagih
A. Yang terjadi A babak belur.
Ingkar
Janji/Wanprestasi
Debitur punya kewajiban untuk
memenuhi prestasi, jika ia tidak melaksanakannya dan bukan karena adanya
keadaan memaksa, maka debitur dianggap melakukan ingkar janji/wanprestasi.
Ada 3 bentuk ingkar janji:
1.
Tidak memenuhi prestasi
sama sekali
Yaitu
ketika debitur tidak lagi mampu memenuhi prestasi sama sekali
2.
Terlambat memenuhi
prestasi
Yaitu
ketika prestasi dari debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya
3.
Memenuhi prestasi secara
tidak baik
-
Ketika prestasi debitur
diakukan secara tidak baik, maka dianggap terlambat melakukan prestasi jika
prestasinya masih dapat diperbaiki
-
Akan tetapi jika tidak
dapat diperbaiki, maka dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali
Contoh:
Pengrajin meubel dpt order dari luar negeri, deadline 2 minggu. Setelah selesai
tepat 2 minggu barang dikirim. Akan tetapi ternyata ditolak karena hasilnya
tidak sesuai. Oleh si pemesan dia diberi kesempatan memperbaiki dalam jangka 1
minggu. Dalam hal ini si pengarajin masih punya kesempatan untuk memperbaiki
prestasinya. Maka dalam hal ini si pengrajin dianggap terlambat memenuhi
prestasi.
Ingkar janji membawa akibat yang
merugikan bagi debitur, sebab akibat dari ingkar janji tersebut debitur wajib
mengganti segala kerugian yang timbul sebagai akibat dari ingkar janji tsb.
Dalam hal debitur ingkar janji,
kreditur dapat menuntut:
1.
Pemenuhan perikatan
2.
Pemenuhan perikatan dan
ganti rugi
3.
Ganti rugi
4.
Pembatalan persetujuan
timbal balik
5.
Pembatalan dengan ganti
rugi
Ganti Rugi
dalam Ingkar Janji
Ketentuan ganti rugi dalam BW
harus diartikan secara luas, meliputi:
1.
Ganti rugi karena ingkar
janji
2.
Ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi
Ganti rugi dapat berupa sebagai pengganti dari
prestasi, akan tetapi dapat juga dapat berdiri sendiri disamping prestasi.
Secara umum biasanya berbentuk UANG sebab dalam
BW hanya diatur mengenai kerugian yang bersifat materiil saja, sedangkan yang
bersifat inmateriil tidak diatur.
Sedangkanbesarnya ganti rugi, pasal 1246 BW
menentukan:
-
Kerugian yang nyata-nyata
diderita (biaya iklan, biaya tiket, biaya notaris dsb)
-
Keuntungan yang
seharusnya diperoleh (keuntungan penjualan dsb)
b. Syarat-syarat ganti rugi
UU menentukan 2 syarat yang harus dipenuhi dalam
membayar ganti rugi:
1. Kerugian yang dapat diduga, atau sepatutnya diduga pada waktu
perikatan dibuat
Misalnya kenaikan harga, keuntungan yang
diperoleh
2. Kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta dari adanya
ingkar janji
Ada 2 teori:
a. Conditio Sine Qua Non
Semua rangkaian peristiwa yang terjadi merupakan
suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Contoh: A ditusuk tangannya oleh B, kemudian A
mencuci tangannya dikali, sehingga tetanus dan meninggal. Jadi kematian A merupakan akibat dari semua
rangkaian peristiwa sebelumnya.
Ajaran ini mendapat tentangan dari berbagai pihak
dan tidak bisa diterapkan dalam praktek hukum sebab akan memperluas
pertanggungjawaban
b. Adequate Veroorzaking
Teori ini berpendapat bahwa satu syarat merupakan
sebab, jika menurut pengalaman dapat diduga/menurut sifatnya pada umumnya
sanggup untuk menimbulkan akibat.
c. Beban Pembuktian
Dibebankan kepada Kreditur. Rasionya karena
kreditur yang menuntut ganti rugi, sehingga dialah yang harus mengemukakan dan
membuktikan bahwa debitur telah melakukan ingkar janji yang berakibat krugian
pada kreditur.
Pasal 1244 BW: Debitur dapat melepaskan dirinya
dari membayar ganti rugi jika ia dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya
prestasi akibat keadaan yang tak terduga/keadaan memaksa dan tidak dapat
dipersalahkan kepadanya.
d. Bunga menurut Undang-undang
Ada 3 macam bunga:
1. Bunga Konvensionil : bunga pinjaman
2. Bunga Moratoire: bunga keterlambatan atas pembayaran pinjaman
3. Bunga Kompensatoire: Bunga yang harus dibayar oleh debitur (penjual)
apabila kreditur (pembeli) sebagai akibat keterlambatan penjual menyerahkan
barang, maka pembeli harus meminjam uang dengan bunga yang digunakan untuk
membeli barang tsb dari pihak ke3 dengan harga yang telah naik.
e. Bunga-berbunga
Hal ini dilarang karena merugikan debitur.
Keadaan
Memaksa (Overmacht/Force Majeure)
Pengertian:
Adalah suatu keadaan yang
menghalangi debitur untuk dapat memenuhi prestasinya, dimana keadaan tersebut diluar kendali/kehendak manusia (debitur)
karena debitur tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
→ Sehingga dalam hal yang demikian tersebut terjadi, debitur tidak
dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko.
→ Keadaan memaksa menghentikan perikatan, dan menimbulkan berbagai
akibat, antara lain:
1. Kreditur tidak bisa meminta pemenuhan prestasi
2. Debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi, sehingga tidak wajib
membayar ganti rugi
3. Resiko tidak beralih kepada debitur
4. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik
Syarat Keadaan Memaksa:
1. Harus terjadi setelah dibuatnya persetujuan.
Ketika persetujuan sudah dibuat, akan tetapi
kemudian prestasinya tidak mungkin dilakukan karena adanya keadaan memaksa,
maka persetujuan menjadi batal demi hukum.
2. Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi harus mengenai prestasinya
sendiri.
Contoh:
a.
A beli gula 1 ton pada B
dg kesepakatan harga Rp. 10 jt serta tgl pengiriman 28 sept. Ternyata setelah
dikirim tgl 28 tsb harga gula naik menjadi Rp. 15 jt. Maka dlm hal ini tidak bisa
dikatakan terjadi keadaan memaksasebagai akibat hal yang tidak
terduga sehingga prestasinya mengalami ketidakseimbangan. Sebab prestasi B
adalah menyerahkan gula. Disini B tidak
terhalang untuk melakukan prestasi yaitu menyerahkan gula.
b.
Kasus yang sama dg (a),
akan tetapi kemudian terjadi tsunami sehingga sangat sulit mendapatkan gula.
Maka disini B terhalang untuk memenuhi prestasi yaitu menyerahkan gula karena
memang barangnya tidak ada.
3. Debitur yang tidak dapat menyerahkan barangnya karena dicuri, tidak
dapat dinyatakan bersalah jika ia telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyimpan
barang tersebut. Lain ketika barang tersebut dicuri dari mobil debitur yang
tidak dikunci.
4. Debitur tidak harus menanggung resiko, artinya baik berdasarkan UU,
persetujuan, maupun pandangan masyarakat yang berlaku tidak wajib menanggung
resiko.
5. Debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi
pemenuhan prestasi pada waktu perikatan dibuat.
Teori Keadaan Memaksa.
1. Teori Obyektif
Dapat dikatakan keadaan memaksa jika pemenuhan
prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan.
Contoh:
penyerahan sebuah rumah tidak mungkin
dilaksanakan karena rumah musnah akibat gempa bumi.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, teori
obyektif sudah tidak berpegang pada ketidakmungkinan yang bersifat mutlak, akan
tetapi bahwa keadaan memaksa menurut teori obyektif adalah termasuk jika
barangnya hilang atau diluar perdagangan.
2. Teori Subyektif
Dapat dikatakan keadaan memaksa jika keadaan
pribadi debitur yang bersangkutan tidak dapat memenuhi prestasinya.
Contoh:
A (pemilik industri kecil) harus menyerahkan barang pada B (pemesan)
dimana barang tsb masih harus dibuat dengan bahan khusus. Tanpa diduga, bahan
tersebut harganya sudah naik berlipat ganda sehingga jika A tetap harus
memenuhi prestasi ia akan menjadi miskin. Maka dalam hal ini teori subyektif
mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika A adalah pemilik industri
besar, maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Adakalanya bahwa sekalipun
debitur tidak bersalah, ia tetap harus menanggung resiko dan harus bertanggung
jawab atas kerugian yang terjadi baik karena diperjanjikan maupun tidak
diperjanjikan (Ps. 1367 BW)
Contoh:
1. Perusahaan angkutan harus mengangkut barang ke suatu tempat. Meskipun
telah menggunakan tali yang baru dan kuat, tali tsb putus sehingga barang
menjadi rusak. Dalam hal ini memang tidak ada kesalahan pada debitur. Akan
tetapi karena sifatnya persetujuan pengangkutan, maka debitur (pengangkut) harus memberikan
jaminan oleh karena itu pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
2. Orang tua/wali bertanggung jawab atas perbuatan yang merugikan dari
anak-anaknya.
3. Guru bertanggung jawab atas muridnya.
4. Majikan bertanggung jawab atas perbuatan buruhnya.
Sifat Keadaan Memaksa
1. Tetap → maka perikatan berhenti sama sekali
Contoh : barang yang akan diserahkan diluar
kesalahan debitur terbakar musnah
2. Sementara → berlakunya perikatan ditunda
Contoh : larangan untuk mengirim barang dicabut; barang yang hilang
telah ditemukan lagi
Resiko
Siapa yang harus menanggung
resiko jika pemenuhan prestasi terhalang karena keadaan memaksa?
1. Resiko pada persetujuan sepihak
Pasal 1245 BW “resiko ditanggung kreditur” → atau
dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasi.
Contoh : Hibah rumah
Akan tetapi dalam ps. 1237 dan 1444 BW menentukan
bahwa “debitur wajib membayar ganti rugi jika barang musnah setelah debitur
lalai untuk menyerahkan barangnya.
2. Resiko pada persetujuan timbal balik
Contoh : A harus menyerahkan kuda pada B
B
harus menyerahkan sapi pada A
Maka jika kuda A mati karena disambar petir, maka B tetap dapat
menguasai sapinya. Jadi seolah-olah tidak pernah terjadi persetujuan antara A
dan B.
Jenis-jenis
Perikatan
A. Dari segi isi dan prestasinya
1. Perikatan positif dan negatif
Positif adalah apabila prestasinya berupa perbuatan
nyata, misal memberi/berbuat sesuatu
Negatif adalah apabila prestasinya berupa tidak
berbuat sesuatu
2. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Sepintas lalu adalah apabila untuk pemenuhan
prestasinya cukup hanya dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat
tujuan perikatan telah tercapai (jual beli tunai)
Berkelanjutan adalah apabila perikatan
berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu tertentu (jual beli kredit,
sewa menyewa, persetujuan kerja)
3. Perikatan alternatif
Apabila debitur berkewjiban melaksanakan satu
dari dua atau lebih prestasi yang dipilih dengan pengertian bahwa dengan pelaksanaan
salah satu pretasi akan mengakhiri perikatan.
Contoh: A harus menyerahkan kuda atau sapinya
kepada B.
Dalam perikatan alternatif tidak disyaratkan
bahwa barang yang dipilih harus barang yang berlainan. Bisa saja barang yang
sama akan tetapi dengan syarat yang berlainan.
Contoh: A harus menyerahkan
beras Cianjur sebanyak 100kg dalam waktu 1 bulan, atau 120kg setelah 3 bulan.
4. Perikatan fakultatif
Adalah suatu perikatan yang obyeknya berupa suatu
prestasi dimana prestasi tsb dapat digantikan dengan prestasi lain.
Contoh: Harus menyediakan kamar hotel,
diganti dengan menyediakan losmen/wisma.
5. Perikatan generik dan spesifik
Generik adalah perikatan yang obyeknya ditentukan
menurut jenis dan jumlahnya (gula pasir 100kg)
Spesifik adalah perikatan yang obyeknya harus
ditentukan secara terperinci (rumah ttt)
6. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Untuk menentukan apakah perikatan dapat dibagi atau
tidak tergantung pada prestasinya dapat dibagi atau tidak.
Perikatan dapat dibagi apabila
para pihak atau salah satu pihak terdiri lebih dari satu subyek. Misalnya
pembagian waris. Dalam hal yang demikian, maka setiap debitur hanya dapat
dituntut atau setiap kreditur hanya dapat menuntut bagiannya sendiri.
Dalam hal hanya ada 1 debitur dan 1 kreditur
saja, maka prestasi harus dilaksanakan sekaligus meskipun prestasinya dapat
dibagi.
Perikatan yang tidak dpt dibagi, dibedakan
menjadi:
a. Menurut sifatnya
Ps. 1296 BW, perikatan tidak dapat dibagi jika
obyek dalam perikatan berupa barang yang menurut sifatnya memang tidak dapat
dibagi baik secara nyata maupun dengan perhitungan (tanaman, binatang, kursi)
b. Menurut tujuan para pihak
Perikatan tidak dapat dibagi jika maksud para
pihak bahwa prestasinya harus dilakukan sepenuhnya, sekalipun prestasinya dapat
dibagi (misalnya menyerahkan hak milik atas suatu benda)
B. Dari segi subyek-subyeknya
1. Perikatan Tanggung Renteng
Dibagi menjadi:
a. Tanggung reteng aktif
Dalam hal ini kreditur lebih dari satu/banyak,
sedangkan debitur hanya satu.
Pemenuhan prestasi dari debitur kepada salah
seorang kreditur, maka membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya
b. Tanggung renteng pasif
Dalam hal ini hanya ada satu kreditur, sedangkan
debitur lebih dari satu.
Dengan dipenuhinya prestasi dari seorang debitur,
maka membebaskan debitur lainnya.
Yang
banyak terjadi dalam praktek adalah tanggung renteng pasif karena tanggung
renteng aktif mengandung kelemahan. Kedudukan kreditur dalam tanggung renteng
pasif lebih terjamin.
Perikatan tanggung renteng
terjadi karena:
i. Kehendak para pihak
Ps. 1278 BW, bahwa untuk terjadinya perikatan
tanggung renteng aktif harus tegas dinyatakan dalam persetujuan.
ii. Berdasarkan ketentuan UU (Ps. 563 BW)
Jika untuk memenuhi suatu prestasi ada beberapa
orang pelaksana, maka dapatlah masing-masing debitur menjalankan tugasnya
sendiri bila yang lain berhalangan, akan tetapi mereka masing-masing tetap
memikul tanggung jawab untuk seluruhnya atas pelaksanaan prestasi.
Contoh: - Pesero dalam firma
-
Beberapa orang
bersama-sama menerima suatu barang sebagai pinjaman, maka mereka itu
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberi
pinjaman.
2. Perikatan Pokok dan Accessoire
Perikatan accessoire adalah merupakan perikatan
pelengkap, yaitu suatu perikatan yang mengikuti perikatan pokoknya.
Contoh: Hutang piutang dengan jaminan
Jadi perikatan accessoire tidak akan ada kalau
tidak ada perikatan pokoknya.
iii. Dari segi mulai berlaku dan berakhirnya perikatan
a. Perikatan Bersyarat
Dibagi menjadi:
-
Perikatan Bersyarat yang
menangguhkan
Dalam perikatan ini, maka perikatan baru berlaku
setelah syaratnya dipenuhi
Contoh: A akan jual rumahnya pada B, jika A diangkat
menjadi Duta Besar
Maka ketika A menjadi Duta Besar maka peretujuan
jual beli berlaku, jadi A harus menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya.
-
Perikatan Bersyarat yang
menghapuskan
Dalam perikatan ini, maka perikatan hapus jika
syaratnya dipenuhi. Dalam hal ini ada 2 kemungkinan:
1. Keadaan dikembalikan seperti semula, seolah-olah tidak terjadi
perikatan
Contoh: A jual rumahnya pada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar
Maka jika A benar menjadi Duta Besar, maka rumah
dan uang harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
2. Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya
Contoh: A menyewakan rumah pada B selama 5 tahundengan syarat batal jika A menang undian 1 milyar
Sewa berjalan 1 tahun, dan ternyata A benar-benar
menang undian. Maka perikatan yang batal adalah perikatan untuk waktu selanjutnya
b. Perikatan dengan Ketentuan Waktu
Adalah perikatan yang berlakunya atau hapusnya
digantungkan kepada waktu atau peristiwa tertentu, yaitu:
1. Waktu atau peristiwa yang dapat ditentukan terjadinya;
Contoh: Penyerahan barang pada tanggal 2 Oktober
2013
2. Waktu atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi meskipun
belum diketahui kapan akan terjadi.
Contoh: Matinya debitur
Perikatan
dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi:
1. Ketentuan waktu yang menangguhkan
Dalam hal ini perikatan dianggap belum ada
sebelum saat yang ditentukan terjadi, atau menurut pasal 1268 BW bahwa :
perikatan sudah ada hanya pelaksanaannya ditunda/ditangguhkan. Sehingga debitur
tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya tiba.
2. Ketentuan waktu yang menghapuskan
Dalam hal ini, maka ketika ketentuan waktunya
dipenuhi, maka perikatan menjadi hapus, dan debitur tidak lagi terikat.
Contoh: Seorang buruh mengadakan ikatan kerja
selama 1 tahun, setelah lewat 1 tahun ia tidak punya kewajiban lagi untuk
bekerja.
BAB III
PERIKATAN
YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN
A.
Persetujuan Pada Umumnya
Pasal 1313 BW memberikan pengertian persetujuan
sebagai berikut:
“Persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Rumusan ini dianggap kurang lengkap dan sangat
luas. Oleh karena itu pengertian tersebut disempurnakan sebagai berikut:
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum
2. Menambahkan perkataan”atau saling mengikatkan dirinya”
Sehingga
rumusannya menjadi:
Persetujuan
adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Persetujuan
selalu merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak, dimana untuk
terjadinya diperlukan kata sepakat para pihak.
B.
Bagian-bagian/Unsur-unsur Persetujuan
1.
Essentialia:
Bagian dari persetujuan yang
tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada.
Contoh: Harga dalam persetujuan
jual beli
2.
Naturalia:
Bagian yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur
Misalnya: Penanggungan
3.
Accidentalia:
Bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan
dalam persetujuan, dimana undang-undang tidak mengaturnya.
Misalnya: Jual beli rumah beserta perabotannya
C.
Macam-macam Persetujuan
Obligatoir
Persetujuan Obligatoir adalah persetujuan yang
menimbulkan perikatan.
Macamnya:
1. Persetujuan sepihak dan timbal balik
Persetujuan sepihak : hanya
menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja
Persetujuan timbal balik:
menimbulkan kewjiban pokok kepada kedua belah pihak
2. Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas beban
Persetujuan Cuma-Cuma: salah
satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara Cuma-Cuma
Persetujuan atas beban:
persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak
yang lain
3. Persetujuan konsensuil, riil dan formil
Persetujuan konsensuil:
persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat
Persetujuan riil:
persetujuan dimana selain kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang
(hibah)
Persetujuan formil:
persetujuan yang dituangkan dalam bentuk tertentu/formil (wakaf)
4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran
Persetujuan bernama: persetujuan yang telah
diatur oleh undang-undang (KUHD) secara khusus (persetujuan asuransi dan
pengangkutan)
Persetujuan tidak bernama:persetujuan yang tidak
diatur secara khusus
D.
Macam-macam Persetujuan Lainnya
1.
Persetujuan Liberatoire
Adalah perbuatan hukum atas dasar kesepakatan
para pihak untuk menghapuskan perikatan yang telah ada
Contoh: A mengadakan perjanjian jual beli dengan
B, 2 hari kemudian dibatalkan lagi atas persetujuan mereka berdua.
2.
Persetujuan dalam hukum keluarga
Misalnya perkawinan, dianggap merupakan persetujuan
karena terjadi berdasar kata sepakat suami-isteri
3.
Persetujuan kebendaan
Adalah persetujuan untuk menyerahkan benda,
menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
4.
Persetujuan mengenai pembuktian
Para pihak bebas untuk mengadakan persetujuan
mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses.
E.
Berlakunya Persetujuan
Persetujuan pada azasnya hanya berlaku dan
mengikat para pihak yang membuat persetujuan saja (pasal 1315-1318 dan pasal
1340 BW)
Akan tetapi ada pengecuaian terhadap azas ini
(pasal 1317 BW), yaitu mengenai janji bagi kepentingan terhadap pihak ketiga.
Contoh: beralihnya hak dan kewajiban kepada
penggantinya (ahli waris), pembeli menggantikan hak-hak penjual sebagai pihak
yang menyewakan
F.
Janji Bagi Kepentingan Pihak Ketiga (Pasal 1340 ayat 2)
Menurut pasal 1340 ayat 2 BW bahwa persetujuan
tidak boleh merugikan atau menguntungkan pihak ke-3 kecuali mengenai apa yang
telah diatur dalam pasal 1317 BW. Jadi suatu persetujuan pada azasnya tidak
boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak ke-3 kecuali jika dibuat
suatu janji bagi kepentingan pihak ke-3.
Janji bagi kepentingan pihak ke-3 hanya mungkin
dalam 2 hal, yaitu:
1. Jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain. Misalnya A
menghadiahkan rumahnya pada B dengan membebankan kpd B kewajiban untuk
melakukan prestasi untuk C.
2. Jika seseorang dalam persetujuan membuat suatu janji untuk kepentingan
sendiri. Misalnya A menjual rumahnya kepada B dengan janji bahwa B akan
melakukan beberapa prestasi untuk C
G.
Timbulnya Hak Bagi Pihak Ketiga
Untuk menentukan timbulnya hak bagi pihak ketiga,
ada 3 teori:
1. Teori Penawaran
Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga
dianggap sebagai suatu penawaran. Selama pihak ketiga belum menerima tawaran
tersebut, maka penawran masih dapat dicabut kembali. Jadi hak pihak ketiga baru
timbul setelah penawaran diterima.
2. Teori Pernyataan yang menentukan sesuatu hak
Menurut teori ini, hak pihak ketiga timbul pada
saat dibuatnya persetujuan antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan
pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Janji
terebut tidak dapat ditarik kembali manakala pihak ketiga telah menyatakan
menerima.
3. Teori Pernyataan untuk memperoleh hak
Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga
baru timbul setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji
tersebut.
H.
Terjadinya Persetujuan
Pasal 1320 BW menentukan 4 syarat untuk sahnya
persetujuan:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab atau causa halal
Detik
lahirnya suatu persetujuan/perjanjian adalah sejak adanya kata sepakat.
Timbul
pertanyaan: Bagaimana untuk menentukan bahwa telah
terjadi “kata sepakat”?
Ada
beberapa teori:
1. Teori Kehendak
Teori ini menekankan pada kehendak seseorang.
Jika kehendak seseorang sdh diketahui, maka dikatakan telah terjadi kata
sepakat
2. Teori Pernyataan
Menurut teori ini, maka kehendak seseorang harus
dinyatakan secara tegas untuk tercapainya kata sepakat. Jadi teori ini
berpegang pada apa yang dinyatakan.
3. Teori Kepercayaan
Teori ini yang dianut oleh yurisprudensi. Menurut teori ini kata
sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.
Pada
perkembangannya, seringkali terjadi transaksi dilakukan tanpa hadirnya para pihak.
Lalu bagaimana untuk menentukan telah terjadi “kata sepakat”?
Muncul
beberapa teori:
1. Teori ucapan
Kata sepakat terjadi pada saat orang yang
menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran
tersebut.
2. Teori Pengiriman
Terjadinya kata sepakat adalah pada saat
dikirimkannya surat jawaban
3. Teori Pengetahuan
Terjadinya kata sepakat adalah setelah orang yang
menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui
4. Teori Penerimaan
Terjadinya kata sepakat adalah pada saat
diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan
I.
Akibat-akibat Persetujuan
Pasal 1338 ayat (1) BW menentukan bahwa setiap
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa persetujuan tsb mengikat para pihak.
J.
Pembatalan Persetujuan Timbal Balik
Azas: Apabila salah satu pihak dalam persetujuan
timbal balik tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi prestasinya.
Jadi persetujuan dianggap batal. Dalam hal ini krediturlah yang berhak untuk
menuntut pembatalannya, bukan debitur. Selain pembatalan, kreditur dapat
melakukan upaya hukum lain (lihat lagi halaman 6).
Pasal 1266 BW menentukan 3 syarat untuk
terlaksananya pembatalan persetujuan:
1. Harus merupakan persetujuan timbal balik
2. Harus ada ingkar janji
3. Putusan Hakim, pembatalan harus melalui putusan hakim
Akibat
pembatalan, maka berarti hubungan hukum yang terjadi karena persetujuan
tersebut juga menjadi batal, sehingga masing-masing pihak tidak perlu lagi
memenuhi prestasinya sebab perikatan telah hapus.
K.
Hapusnya Persetujuan
Persetujuan dapat hapus karena:
1. Ditentukan oleh para pihak dalam persetujuan. Misalnya dalam
persetujuan untuk waktu tertentu.
2. Ditentukan dalam UU mengenai batas waktu berlakunya suatu persetujuan.
Misal: menurut ps. 1066 ayat 3 bahwa para ahli
waris dapat mengadakan untuk selama waktu tertentu tidak melakukan pemecahan
harta warisan (batas waktu ditentukan dalam ayat 4, yaitu hanya untuk 5 tahun)
3. Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu, maka persetujuan akan hapus
Misalnya jika salah satu meninggal persetujuan
menjadi hapus.
-
Persetujuan perseroan
(ps. 1646 ayat 4 BW)
-
Perstujuan pemberian kuasa
(ps. 1813 BW)
-
Persetujuan kerja (ps.
1603j BW)
4. Pernyataan oleh salah satu atau kedua belah pihak (hanya untuk
persetujuan yang bersifat sementara)
-
Persetujuan kerja
-
Persetujuan sewa menyewa
5. Karena putusan hakim
6. Tujuan persetujuan telah tercapai
7. Dengan persetujuan para pihak
BAB IV
PERIKATAN YANG TERJADI KARENA UNDANG-UNDANG
Sumber-sumber
Perikatan
Sumber perikatan dibagi menjadi
2 yaitu:
1.
Perikatan yang timbul
dari undang-undang, dibagi menjadi
a. bersumber dari UU saja, contoh kewajiban mendidik anak
b. bersumber dari UU karena perbuatan manusia, contoh perwakilan
sukarela, perbuatan melawan hukum
2.
Perikatan yang timbul
dari persetujuan.
Perikatan Yang Bersumber dari UU
Karena Perbuatan Manusia dibagi menjadi:
a.
Perbuatan Manusia menurut
hukum
b.
Perbuatan Manusia yang
melawan hukum
A.
Perbuatan Manusia Menurut Hukum
Adalah perbuatan yang tidak ada
ketentuannya dalam UU/hukum akan tetapi tidak dilarang oleh UU (=
diperbolehkan).
Apa saja perbuatan tsb?
1.
Perwakilan Sukarela (Zaakwaarneming)
Perwakilan sukarela adalah:
Suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela
menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan
perhitungan dan resiko yang ditanggung orang tersebut.
Syarat Perwakilan Sukarela:
1.
Yang diurus adalah
kepentingan orang lain
2.
Mengurus kepentingan
orang lain yang diwakilinya tersebut secara suka rela, hal ini berarti bahwa ia
berbuat atas inisiatif sendiri bukan berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan
oleh UU atau persetujuan.
3.
Seorang wakil suka rela
harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain
4.
Inisiatifnya untuk
bertindak sebagai wakil suka rela dibenarkan
Kewajiban
seorang wakil sukarela:
1. Harus bertindak selaku bapak rumah tangga yang baik
2. Harus meneruskan pekerjaannya sehingga orang yang diwakilinya dapat
mengurus sendiri kepentingannya
3. Jika yang diwakili meninggal, ia tetap berkewajiban meneruskan
pengurusan sampai ahli warisnya dapat mengambil alih kewajibannya
4. Memberikan laporan dan perhitungan menegenai apa yang ia terima
5. Bertanggung jawab atas kerugian yang diderita disebabkan pelaksanaan
tugas yang kurang baik
Hak seorang wakil sukarela:
1. Tidak berhak mendapat upah akan tetapi berhak mendapat penggantian
atas biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pekerjaannya selaku wakil
suka rela
2. Hak retensi, yaitu hak menahan barang milik orang yang diwakili sampai
mendapat penggantian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan
2.
Pembayaran Tidak Terutang (Onverschuldidge Betaling)
→ Seseorang yang membayar tanpa
adanya hutang, maka ia berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan.
→ Dan orang yang menerima
pembayaran tanpa adanya hak, berkewajiban untuk mengembalikan.
Pembayaran disini harus diartikan sebagai “setiap
pemenuhan prestasi”, jadi tidak hanya berupa pembayaran uang saja, akan tetapi
juga penyerahan barang, memberikan kenikmatan dan mengerjakan suatu pekerjaan.
Dalam hal pengembaliannya tidak mungkin, maka
dapat diperhitungkan nilai harganya.
Dalam pembayaran tidak terhutang, “Kekeliruan”
bukanlah menjadi syarat. Jadi meskipun diakukan dengan sadar, tanpa adanya
unsur kekeliruan, maka seseorang dapat menuntut pengembalian.
B.
Perbuatan Melawan Hukum
Pasal
1365 BW menentukan:
“Setiap
perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu
mengganti kerugian”.
Untuk
dapat mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus memenuhi
syarat:
1. Perbuatan melawan hukum
2. Harus ada kesalahan
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Apa itu
perbuatan melawan hukum?
Pasal
1365 BW memberikan pengertian Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:
→Tidak
hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan saja melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang, yaitu
kaidah-kaidah sosial lainnya (kebiasaan, kesopanan, dan kesusilaan serta
melanggar hak orang lain). Mengapa?Karena tidak
semua kepentingan diatur oleh UU.
KESALAHAN
Syarat
Kesalahan:
1. Dapat diukur secara obyektif
Yaitu harus dibuktikan bahwa dalam keadaan
seperti itu manusia yang normal secara umum dapat menduga kemungkinan timbulnya
akibat, sehingga ia dapat berpikir untuk berbuat atau tidak berbuat.
2. Dapat diukur secara subyektif
Yaitu harus diteliti lebih lanjut, apakah si
pembuat dapat menduga akibat yang akan muncul dari perbuatannya dan apakah ia
dapat dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya tsb. Hal ini karena
orang yang tidak tahu apa yang dia lakukan, tidak wajib membayar ganti rugi.
Misalnya anak kecil atau orang gila, atau orang yang terpaksa melakukan suatu
perbuatan karena ancaman/intimidasi, maka ia tidak dapat dipersalahkan.
KERUGIAN
Kerugian
karena perbuatan melawan hukum dapat berupa:
1. Kerugian Materiil
2. Kerugian Idiil/Inmateriil
Kerugian
Materiil
Kerugian
Materiil dapat berupa:
-
kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
- keuntungan
yang seharusnya diperoleh
Contoh :
A merusak mobil pick-up B (seorang penjual sayur)
Maka
dalam hal ini A harus mengganti kerugian B yaitu membayar biaya reparasi
pick-up (kerugian yang nyata) dan mengganti
penghasilan/keuntungan B selama pick-up nya rusak sehingga ia tdk bisa
berjualan (keuntungan yang seharusnya diperoleh)
Kerugian
Idiil/Inmateriil
Kerugian
Idiil berupa: ketakutan, sakit (termasuk cacat dan luka), dan kehilangan
kesenangan hidup.
Pihak
yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya atas apa yang telah ia
derita pada waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa yang ia akan derita
pada waktu yang akan datang.
HUBUNGAN CAUSAL ANTARA PERBUATAN MELAWAN
HUKUM DENGAN KERUGIAN
Ada 2
teori:
1. Conditio Sine Qua Non
2. Adequate Veroozaking
Bab V
HAPUSNYA PERIKATAN
Beberapa Cara Hapusnya Perikatan
I.
Pembayaran
“Pembayaran” disini harus diartkan sebagai setiap
pelunasan perikatan, jadi tidak selalu berupa
“uang”
Pada umumnya dengan dilakukan pembayaran, maka
perikatan menjadi hapus. Akan tetapi bisa terjadi bahwa perikatan tetap ada,
dan kedudukan kreditur semula digantikan oleh pihak ke-3 (subrogasi).
Pertanyaannya:
Siapa yang harus melakukan pembayaran?
Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga
dapat pula oleh orang lain baik oleh: (1) orang yang berkepentingan maupun oleh
(2) orang yang tidak berkepentingan
Menurut ketentuan pasal 1382 ayat 1 BW, bahwa
perikatan dapat dibayar oleh yang berkepentingan, misalnya orang yang turut
berhutang atau seorang penanggung hutang. Orang yang tidak berkepentingan,
misalnya bertindak atas nama si berhutang.
Dalam perikatan untuk menyerahkan hak milik, maka
untuk sahnya pembayaran pasal 1384 ayat 1 mensyaratkan bahwa orang yang
membayar adalah pemilik dan berwenang memindahtangankan barangnya, jika tidak
maka pembayaran dapat dinyatakan tidak sah. Dalam hal yang demikian, maka
Kreditur dapat menolak barangnya dan masih berhak untuk menuntut pemenuhan
pretasi.
Kepada siapa pembayan dilakukan?
Menurut ketentuan pasal 1385 BW, pembayaran harus
dilakukan kepada:
1. Kreditur; atau
2. Orang yang dikuasakan oleh kreditur; atau
3. Orang yang dikuasakan oleh hakim atau UU untuk menerima pembayaran
Ad. 1
Kreditur
adalah orang yang berhak untuk menerima pembayaran.
Pasal
1387 menentukan bahwa pembayaran kepada kreditur yang tidak “cakap” adalah
tidak sah, kecuali jika debitur dapat membuktikan bahwa kreditur yang tidak
cakap tersebut telah memperoleh manfaat dari pembayaran tersebut.
Dalam
hal debitur tidak cakap, maka pembayaran harus dilakukan kepada wakilnya menurut
UU.
Ad. 2
Pembayaran
debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Disini debitur dapat memilih apakah
akan membayar kepada kreditur atau kepada kuasanya. Akan tetapi jika kreditur
menghendaki agar debitur membayar kepadanya, maka maka debitur harus
memenuhinya, demikian juga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan
kepada kuasanya, maka debitur juga harus memenuhinya.
Ad. 3
Wewenang
yang diberikan oleh UU untuk menerima pembayaran bagi kreditur adalah misalnya
Curator.
Pembayaran
yang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tidak sah kecuali dalam 3
hal:
a. Kreditur menyetujuinya
b. Kreditur telah mendapatkan manfaat
c. Debitur membayar dengan itikad baik
Obyek Pembayaran
Apa yang
harus dibayar adalah apa yang terhutang. Kreditur boleh menolak jika ia dibayar
dengan prestasi lain selain yang terhutang meskipun nilainya sama atau melebihi
nilai piutangnya.
Undang-undang
membedakan atas:
a. Hutang barang spesifik
Debitur atas barang pasti dan tertentu,
dibebaskan dari tuntutan kreditur dalam hal terjadi penurunan nilai barang
asalkan penyerahan barang dilakukan ditempat dimana dimana barang itu berada
dan pengurangan nilai barang antara saat terjadinya perikatan dengan penyerahan
tidak disebabkan oleh:
-
Perbuatan atau kelalaian
debitur
-
Kesalahan atau kelalaian
orang yang menjadi tanggungannya
b. Hutang barang generik
Debitur atas barang generik tidak harus
menyerakan barang yang paling baik atau yang paling buruk.
c. Hutang uang
Uang disini harus diartikan sebagai alat
pembayaran yang sah.
Tempat Pembayaran
Menurut
pasal 1393 BW, bahwa pembayaran harus dilakukan:
a. Ditempat yang ditentukan dalam persetujuan. Penentuan dapat dilakukan
pada saat dibuat persetujuan atau kemudian
b. Ditempat dimana barang itu berada pada waktu dibuat persetujuan
c. Ditempat tinggal kreditur atau ditempat debitur
Waktu Dilakukannya Pembayaran
UU tidak
menentukan mengenai kapan pembayaran harus dilakukan, jadi tergantung pada
kesepakatan para pihak. Dalamhal para pihak tidak menentukan mengenai waktunya,
maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatan terjadi
Subrogasi
Subrogasi
adalah penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya
pembayaran.
Menurut
pasal 1400 BW subrogasi terjadi karena adanya pembayaran oleh pihak ketiga
kepada kreditur.
Akibatnya
→yaitu bahwa dengan terjadinya subrogasi maka piutang dan hak-hak accessoirnya
beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur.
Pasal 1403:
Subrogasi
tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur apabila pihak ketiga hanya membayar
sebagian piutangnya. Sehingga untuk sisa piutang yang belum dibyar, kreditur
masih tetap dapat melaksanakan hak-haknya dan ia mempunyai hak yang didahulukan
daripada pihak ketiga.
Contoh:
A
mempunyai hutang kepada B sebesar Rp. 12 jt dengan jaminan BPKB motor
X (pihak
ketiga) membayar sebagian hutang A kepada B, yaitu sebesar Rp. 8 jt
→ Sisa
hutang A adalah 12 jt – 8 jt = 4 jt
Kemudian
motor dijual dan laku sebesar Rp. 9 jt.
Maka
disini B mempunyai hak untuk didahulukan pelunasan piutangnya yaitu sebesar Rp
4 jt dan sisanya Rp. 5 jt baru diberikan kepada X.
II.
Penawaran Pembayaran Diikuti Dengan Penitipan
UU memberikan kemungkinan kepada debitur yang
tidak dapat melunasi hutangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur
yaitu dengan jalan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
Contoh:
A harus menyerahkan barang yang dibeli oleh B,
akan tetapi karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan
alasan gudangnya penuh. Maka untuk membebaskan diri dari tuntutan wanprestasi,
maka A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan.
Penawaran pembayaran dengan penitipan hanya
mungkin terjadi pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan
barang bergerak.
Pada umumnya penawaran pembayaran dapat dilakukan
setelah ada “penolakan” dari kreditur.
Syarat sah untuk dapat melakukan penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan:
1. Harus ditujukan kepada kreditur atau kuasanya
2. Dilakukan oleh orang yang berwenang melakukan pembayaran
3. Ketetapan waktunya telah tiba (sudah jatuh tempo)
4. Penawaran pembayaran harus meliputi: seluruh uang pokok, bunga dan
segala biaya-biaya (ketentuan ini khusus untuk hutang uang)
5. Penawaran harus dilakukan
ditempat dimana menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan.
6. Penawaran dilakukan dengan bantuan seorang notaris atau juru sita dan
disertai dengan 2 orang saksi
Apabila
penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia
tawarkan. Syarat penitipan:
1. Sebelum penitipan, kreditur harus diberitahu tentang hari, jam dan
tempat dimana barang akan disimpan
2. Debitur telah melepas barang yang ditawarkan dengan menitipkan
barangnya kepada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang akan mengadili jika terjadi perselisihan
3. Notaris atau jurusita disertai 2 orang saksi membuat berita acara
mengenai wujud barang/jumlah uang yang ditawarkan, penolakan kreditur, dan
mengenai penyimpanan tsb.
Akibat
dari adanya penawaran pembayaran diikuti penitipan:
→
debitur dibebaskan dari kewajiban dan penawaran tersebut berlaku sebagai
pembayaran.
Pembebasan
tersebut mengakibatkan:
a. Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau
pembatalan pada persetujuan timbal balik
b. Debitur tidak lagi bisa dikenakan bunga/denda sejak hari penitipan
c. Sejakhari penitipan kreditur menanggung resiko barangnya
d. Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi kepada
kreditur
III.
Pembaharuan Hutang (Novatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada 3 macam novasi:
1. Novasi Obyektif, yaitu perikatan yang telah ada diganti dengan
perikatan lain
Dapat terjadi dengan:
a. Mengganti atau merubah prestasi perikatan
Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang
diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan suatu barang tertentu
b. Mengubah sebab dari perikatan
Misalnya ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum, diubah menjadi hutang piutang
2. Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain
Dapat terjadi dengan 2 cara:
a. Expromissie, yaitu debitur semula diganti oleh debitur baru tanpa
bantuan debitur semula
Misalnya A (debitur) berhutang pada B (kreditur),
kemudian B membuat persetujuan dengan C (debitur baru) yaitu bahwa C akan
menggantikan kedudukan A dan A akan dibebaskan oleh B dari hutangnya
b. Delegatie, dimana terjadi persetujuan antara debitur, kreditur semula
dan debitur baru. Tanpa persetujuan dari
kreditur, debitur tidak dapat diganti dengan debitur lainnya.
Misalnya A (debitur lama) berhutang pada B
(Kreditur), kemudia A mengajukan C sebagai debitur baru kepada B. Antara B dan
C diadakan persetujuan bahwa C akan melakukan apa yang harus dipenuhi oleh A
terhadap B, sehingga A dibebaskan dari kewajibannya oleh B
3. Novasi subyektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain
Misalnya: A berhutang Rp. 10.000 kepada B
B berhutang Rp. 10.000 kepada C
Dengan novasi maka dapat terjadi A menjadi
berhutang kepada C
Hutang A pada B dan hutang B pada C menjadi hapus
IV.
Perjumpaan Hutang (Kompensasi)
Adalah merupakan cara hapusnya perikatan dimana
dua orang masing-masing saling terikat sebagai debitur satu dengan lainnya
dikarenakan adanya hutang
Contoh:
A berhutang Rp. 1.000 pada B, sebaliknya;
B berhutang Rp. 600 pada A; kedua hutang
dikompensasikan, maka
A masih punya hutang pada B Rp. 400
Hutang B pada A lunas
Menurut pasal 1426 BW, jika syarat untuk
kompensasi telah ada, maka kompensasi terjadi demi hukum.
Jenis-jenis Kompensasi:
1. Kompensasi terjadi secara otomatis (menurut UU)
2. Kompensasi dengan persetujuan
Kompensasi Secara Otomatis
Syarat
untuk terjadinya kompensasi menurut UU:
a. Dua orang secara timbal balik merupakan debitur satu dengan lainnya
b. Obyek perikatan berupa sejumlah uang atau barang sejenis yang dapat
dipakai habis
c. Piutang-piutangnya sudah dapat ditagih
d. Piutang-piutangnya dapat diperhitungkan segera
Kompensasi Dengan Persetujuan
Para
pihak dapat mengadakan persetujuan mengenai terjadinya kompensasi tanpa
memenuhi syarat-syarat tersebut.
V.
Percampuran Hutang
Percampuran hutang dapat terjadi karena kedudukan
kreditur dan debitur bersatu dalam diri seseorang.
Misalnya: A (Kreditur) meninggal, dan B (debitur)
merupakan satu-satunya ahli waris A
→maka B menggantikan A, sedangkan B juga debitur A, oleh karena itu
peri-
Katan menjadi hapus
VI.
Pembebasan Hutang
Adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur
melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur
UU tidak mengatur mengenai bagaimana terjadinya
pembebasan hutang oleh karena itu timbul pertanyaan: Apakah
pembebasan hutang terjadi dengan perbuatan hukum sepihak atau timbalik?
2 cara terjadinya pembebasan hutang:
1. Dengan perbuatan hukum sepihak
Yaitu kreditur menyatakan kepada debitur bahwa ia
dibebaskan dari hutangnya.
Menurut Pitlo:
Harus dipenuhi syarat bahwa kreditur hanya berhak
membebaskan debitur secara sepihak jika hal tersebut tidak merugikan debitur.
Jika menurut hukum debitur mempunyai kepentingan terhadap adanya perikatan tersebut,
maka pembebasan sepihak tidak boleh dilakukan
2. Dengan perbuatan hukum timbal balik/persetujuan
Yaitu pernyataan kreditur bahwa ia membebaskan
debitur dari hutangnya dan penerimaan oleh debitur atas pembebasan tersebut
Akibat pembebasan, maka perikatan menjadi hapus.
Dalam hal pembebasan dilakukan oleh seseorang yang tidak cakap untuk membuat
perikatan/karena adanya paksaan, kekeliruan atau penipuan maka dapat dituntut
pembatalannya.
VII.
Musnahnya Barang Yang Terhutang
Musnahnya barang disini harus terjadi karena
overmacht.
Sejak terjadinya perikatan maka barang menjadi
tanggungan kreditur, akan tetapi harus diperhatikan bahwa:
1. debitur sampai saat penyerahan barang berkewajiban untuk merawat
benda/barang yang terhutang. Jika debitur lalai, maka resiko ditanggung oleh
debitur
2. jika debitur terhalang untuk menyerahkan barang karena keadaan memaksa
(overmacht), maka akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan keadaan memaksa
tersebut menjadi tanggungan kreditur
VIII.
Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan
Macam-macam kebatalan:
1. Batal demi hukum
2. Dapat dibatalkan
.............................................................
Alhamdulillah .............................................................
No comments:
Post a Comment