Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan
penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau
nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah
keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul.
Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama
Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau
adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid
Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung
permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya
adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi
populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan
nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu
kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri
Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan
non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan
yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang
meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq,
peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari
Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada
hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan
dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan
anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.
Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan
Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal
dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang
terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai
sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun,
zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir,
sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan
pemurah.
Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn
Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul
Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf
ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn
Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin
ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail
Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf
As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu
agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf
Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi..
Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab
Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari
cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain
Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung
dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari
Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum
bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’
terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab
At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan
oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid
Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa
Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau
juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia
tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi
juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta
beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum
besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali.
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati
untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang
berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni
dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada
tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap
Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai
lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah
Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati
rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada
Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin
bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada
di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir
sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat
Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada
Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi
Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini
harus dirayakan secara massal.
Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul
dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi. Untuk mengimbangi maraknya peringatan
Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan
peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat
Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar
perayaan ulang tahun biasa.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad
yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan
Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah
suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji,
agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada
masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12
Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang
membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab
sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya
resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan
tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah
kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual,
sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada
peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah
menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi
dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk
mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh
Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan
Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi
Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan,
sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan
bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan
kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu
riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan
prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan
Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab
bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada
masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam
(Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan
Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan
mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah
meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.
Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini
ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang
tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah.
Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya
mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad
dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja
Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka,
Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka
bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa
dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau
sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan
beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah
masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan
Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri,
melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk
memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat
perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan
Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu
pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang
kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser
tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya,
Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya..
Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada
sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak
Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima
sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium
sorban Nabi Muhammad saw tersebut.
Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita
membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi
salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh
‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih
salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)
Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan
shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis
dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar
mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau
melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna
dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”
Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW
bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya
di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa
yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
No comments:
Post a Comment